Entri yang Diunggulkan

Menghitung Upah Lembur

               Kadang masih ada yang bingung mengenai kewajiban pemberi kerja tentang upah lembur. Demikian juga karyawan tidak mengetahui t...

Minggu, 24 Februari 2013



NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH
KABUPATEN BANTUL
TENTANG
PENANGGULANGAN  KEMISKINAN


I.      PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Dalam  pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Alinea IV, disebutkan bahwa  tujuan nasional bangsa Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Khususnya dalam rangka mencapai tujuan memajukan kesejahteraan umum perlu dilakukan upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terarah dan terpadu, termasuk diantaranya pembangunan bidang kesejahteraan sosial. Kemiskinan merupakan permasalahan pemerintah yang mendesak dan memerlukan langkah-langkah penanganan dan pendekatan yang sistematik, terpadu dan menyeluruh, dalam rangka mengurangi beban dan memenuhi hak-hak dasar warga secara layak melalui pembangunan inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan untuk mewujudkan kehidupan yang bermartabat.
Kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu kemiskinan (proper), ketidakberdayaan (powerless), kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), ketergantungan (dependence), dan dimensi keterasingan (isolation).
Kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami sesorang atau rumahtangga, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal yang layak bagi kehidupannya. Terdapat 14  variabel rumah tangga miskin program sosial ekonomi  dari BPS yang digunakan pada tahun 2005 dan 2008 yaitu: 1) luas lantai < 8 m2, 2) lantai rumah terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan, 3) dinding rumah terbuat dari bambu/kayu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa plester, 4) tidak punya fasilitas buang air buang air besar atau bersama-sama dengan rumah lain, 5) sumber penerangan rumah bukan listrik, 6) sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan, 7) bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah, 8) hanya mengkonsumsi daging /susu/ayam satu kali dalam seminggu atau tidak pernah, 9) hanya dapat membeli pakaian baru sebanyak satu kali dalam setahun atau tidak pernah, 10) hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari, 11) tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik pemerintah, 12) sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah pertanian dengan luas tanah < 0,5 Ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lain dengan pendapatan per bulan < Rp. 600.000,00, 13) pendidikan kepala rumah tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya tamat SD, 14) Tidak mempunyai tabungan/barang yang mudah dijual minimal Rp.500.000,00 seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya.
Kemiskinan dipandang sebagai permasalahan yang bersifat multidimensional mencakup dimensi sosial, ekonomi, fisik, politik, kelembagaan, dan bersifat unik untuk setiap daerah karena tiap daerah mengandung karakteristik yang cukup bervariatif. Aksi dalam penanggulangan kemiskinan memerlukan peran serta berbagai pelaku pembangunan (stakeholders), baik pemerintah dan pemerintah provinsi serta pemerintah kabupaten/kota maupun dunia usaha/swasta atau masyarakat.    Pada sisi lain, dalam melaksanakan program penanggulangan kemiskinan masih dihadapkan pula pada beberapa permasalahan krusial seperti data base yang masih belum mampu di up date setiap tahunnya secara kontinyu, sehingga  beraneka ragamnya program kemiskinan  tidak berdampak signifikan terhadap data penurunan angka kemiskinan.
Berdasarkan pendataan tahun 2011 di Kabupaten Bantul terdapat 40.406 keluarga miskin dengan jumlah jiwa sebesar 128.164 orang atau sekitar 18,4% . Mereka yang masuk dalam kategori keluarga miskin sebetulnya masih mempunyai potensi antara lain di bidang pertanian, peternakan, kelautan, kerajinan, katering dan lainnya. Pemberdayaan yang  telah, sedang  dan akan dilakukan berupa pelatihan ketrampilan, bantuan pinjaman modal, pendampingan, workshop dan sebagainya.
Sedang terhadap keluarga miskin yang tidak dapat diberdayakan maka intervensi yang dapat dilakukan berupa pengurangan beban seperti santunan, bantuan, jaminan kesehatan dan sebagainya.

B. Identifikasi Masalah
Masih tingginya angka kemiskinan di Kabupaten Bantul yakni 40.406 keluarga miskin (128.164 orang atau sekitar 18,4%) merupakan permasalahan yang membutuhkan keseriusan di dalam langkah-langkah penanggulangannya. Program dan kegiatan sebetulnya sudah banyak dikerjakan dalam rangka penanggulangan kemiskinan, baik itu yang merupakan program yang bersumber dari APBN, APBD DIY ataupun yang berasal dari APBD kabupaten Bantul. Namun demikian masih terdapat paling tidak 5 (lima) permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah  dalam program penanggulangan kemiskinan yaitu :
a.        Lemahnya instusi pengelola program penanggulangan kemiskinan
b.       Data basis keluarga miskin belum tersedia secara baik dan  dipergunakan dalam  intervensi program penanggulangan kemiskinan
c.        Belum ada mekanisme dan sistem pencatatan dan pelaporan program penanggulangan kemiskinan
d.       Dukungan anggaran operasional penanggulangan kemiskinan yang masih terbatas
e.        Keterbatasan petugas lapangan
Disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin merupakan pedoman dalam menyusun  regulasi berupa peraturan daerah yang mengatur dan mengamanatkan secara tegas  mengenai penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bantul.
Karena kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multi dimensi, multi sektor dengan beragam karakteristik yang harus segera diatasi serta menyangkut harkat dan martabat manusia, maka penanggulangan kemiskinan perlu keterpaduan program diantara lembaga dan dunia usaha serta melibatkan partisipasi masyarakat.
Upaya penanggulangan kemiskinan dapat berjalan optimal, efektif, efisien, dan terprogram secara terpadu serta berkelanjutan, maka diperlukan peraturan berupa peraturan daerah bagi penyelenggara pemerintah Kabupaten Bantul, dunia usaha dan seluruh komponen masyarakat.

C.   Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik
1.     Tujuan :
a.      Memudahkan penyusunan kerangka pemikiran bagi Perancang Peraturan Daerah Kabupaten Bantul tentang Penanggulangan Kemiskinan.
b.     Mengkaji dan meneliti pokok-pokok materi apa saja yang ada dan harus ada dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Penanggulangan Kemiskinan.
c.      Melihat keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya sehingga jelas kedudukan dan ketentuan yang diaturnya.
d.     Memberikan bahan dan data untuk menjadi bahan pembanding dan mempertegas pentingnya merancang Rancangan Peraturan Daerah tentang  Penanggulangan Kemiskinan.
2.  Kegunaan :
Tujuan Naskah akademis ini adalah sebagai acuan untuk merumuskan pokok-pokok pikiran yang akan menjadi bahan dan dasar bagi penyusunaan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penanggulangan Kemiskinan.
Dengan demikian dengan panduan dari naskah Akademik tersebut diharapkan Peraturan Daerah Kabupaten Bantul tentang Penanggulangan Kemiskinan,  benar-benar sesuai kegunaan, yaitu :
1.     Memberikan landasan hukum atau regulasi yang komprehensif dalam Penanggulangan Kemiskinan.
2.     Dengan adanya peraturan daerah ini diharapkan terjadi mekanisme yang baku dalam Penanggulangan Kemiskinan.

D.    Metode Penelitian
1.     Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kepustakaan (library reseacrh) dengan menelusuri buku-buku dan dokumen yang berkaitan.
2.     Subyek Penelitian
Dalam hal ini yang menjadi subyek penelitian adalah warga masyarakat kabupaten Bantul.
3.     Teknik Pendekatan
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan Hukum (normative) yaitu meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
4.   Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
a.      Primer yaitu sumber bahan atau dokumen yang dikemukakan atau digambarkan sendiri oleh orang atau fihak yang hadir pada waktu kejadian yang digambarkan tersebut berlangsung, sehingga mereka dapat dijadikan saksi.
b.     Sekunder yaitu sumber bahan kajian yang digambarkan oleh bukan orang yang ikut mengalami atau hadir pada waktu kejadian sedang berlangsung.
5.     Teknik Pengumpulan Data dan Bahan Hukum
Teknik yang dipergunakan dalam melakukan penelitian ini adalah :
a.      Untuk data primer, teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah wawancara kepada subyek penelitian.
b.     Untuk data sekunder, teknik pengumpulan data adalah melalui studi pustaka yang terdiri dari :
1). Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari norma atau kaidah dasar,peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak terkodifikasi, yurisprudensi, traktat, bahan hukum lainnya yang masih berlaku sebagai hukum positif.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan lain-lainnya.
3) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer, dan sekunder, misalnya kamus hukum, ensiklopedia, indek komulatif, dan lain-lainnya.

II.    KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS

A.   Kajian Teoritis
Pemberlakuan sistem desentralisasi akibat pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, memberi dampak terhadap pelaksanaan pada program peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program penanggulangan kemiskinan di daerah.
Sesuai dengan kebijakan  Pemerintah Pusat mengenai Penanggulangan Kemiskinan, maka kebijakan penanggulangan kemiskinan meliputi:
a.      Bantuan dan perlindungan sosial yang bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, serta perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin;
b.     Penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang bertujuan mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok  masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip pemberdayaan masyarakat;
c.      Penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil yang bertujuan memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha/koperasi berskala mikro.

Dalam pelaksanaannya harus mempertimbangkan 4 prinsip utama penanggulangan kemiskinan yaitu:
a.      Memperbaiki Program Perlindungan Sosial, yaitu dengan Bantuan Sosial Berbasis Keluarga (Raskin), Bantuan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (Jamkesmas) serta Bantuan Pendidikan bagi Masyarakat Miskin (Program Keluarga Harapan)
b.     Meningkatkan Akses Pelayanan Dasar dalam Pendidikan, kesehatan dan pelayanan dasar sanitasi dan air bersih
c.      Memberdayakan Kelompok Masyarakat Miskin yaitu dengan menyempurnakan pelaksanaan PNPM Mandiri
d.     Pembangunan yang inklusif yaitu dengan membangun yang dapat diakses semua lapisan, golongan masyarakat terutama masyarakat miskin dengan membantu UMKM (KUR dan Bantuan kepada Usaha Mikro), Industri Manufaktur Padat Pekerja,  Konektivitas Ekonomi (Infrastruktur), menciptakan Iklim Usaha (Pasar Kerja yang Luwes dan Infrastruktur),  Pembangunan Perdesaan serta Pembangunan Pertanian
Kabupaten Bantul mempunyai indikator kemiskinan tersendiri yang berbeda dengan Indikator kemiskinan nasional yang dipakai BPS. Indikator kemiskinan Kabupaten Bantul telah pernah dievaluasi melalui studi yang dilaksanakan pada tahun 2010. Namun demikian, hasil evaluasi tersebut belum dapat dipakai untuk mengganti indikator yang sudah tidak relevan lagi sesuai dengan perkembangan jaman. Menurut hasil wawancara, perubahan indikator akan memerlukan waktu dan tenaga karena perlu sosialisasi kepada petugas pendata di lapangan, mempengaruhi perubahan penilaian, yang akhirnya juga mempengaruhi jumlah KK Miskin secara keseluruhan. Berikut adalah indikator kemiskinan Kabupaten Bantul.

Tabel 1
Indikator Kemiskinan Kabupaten Bantul



Berdasarkan hasil studi Evaluasi Indikator Kemiskinan (2010) tersebut, yang paling mempengaruhi jatuhnya keluarga ke dalam katagori kemiskinan adalah karena penghasilan, jumlah kekayaan (aset),  papan (tempat tinggal), sandang, kesehatan dan air bersih. Dari sini bisa dilihat bahwa aspek yang dinilai secara dominan adalah aspek ekonomi.  Sedangkan aspek pendidikan, kesehatan (sosial) merupakan aspek yang mengikuti dari kurang tersedianya aspek penghasilan dan kekayaan (ekonomi).
Dari Indikator kemiskinan tersebut dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu dimensi ekonomi, sosial, dan fisik. Melalui metode FGD, masing-masing dimensi terdiri atas dapat dibreakdown dalam beberapa aspek. Dari tiap-tiap aspek tersebut diperoleh indikator kemiskinan, seperti terlihat pada data tabel 3.2. berikut ini
Tabel 2
Daftar Indikator Kemiskinan

No.
Dimensi
Aspek
Indikator
1
Ekonomi
Pekerjaan
1.    Penganggur
2.    Buruh Serabutan
3.    Buruh gendong
4.    Tukang becak
5.    Kernet
6.    Tukang cuci
7.    Tukang sampah
8.    Pembantu Rumahtangga
9.    Pelayan toko
10. Pemulung
11. Petani penggarap
12. Petani gurem
13. Pedagang kecil-kecilan
14. Pedagang asongan
15. Pensiunan Gol I
16. Pegawai honorer
Penghasilan
1.  < Rp. 500.000/bln
2.  Tanggungan > 4 orang
Pendidikan
1.  Pendidikan tertinggi KK SLTP
2.  Tak ada anggota KK yang tamat SLTA
Kompetensi
1.  Kurang
2.  Tak memiliki ketrampilan kerja
3.  Tak memiliki jiwa kewirausahaan
Modal
1.  Tidak memiliki modal
2.  Modal sangat kecil
Akses
1.  Tak bisa memperoleh informasi yang dibutuhkan
2.  Tidak mampu berurusan dengan birokrasi
3.  Tidak ada tempat untuk ”mengadu”/ berbagi
2
Sosial
Kesehatan
1.  Jompo
2.  Sakit menahun
3.  Tidak bisa dan tak mampu memanfaatkan layanan kesehatan modern
4.  Pola makan tidak menentu
5.  Kurang gizi
6.  Tempat tinggal tidak higienis
7.  Lingkungan tidak higienis
Sikap hidup
1.  Mudah putus asa dalam menghadapi masalah
2.  Mudah menyerah
3.  Tidak ulet
4.  Boros
5.  Suka jaga gengsi
6.  Rendah diri/minder
Lingkungan
1.  Tradisi nyumbang
2.  Banyak penjudi
  3
Fisik
Rumah
1.  Kontrak/Ngindung
2.  Milik sendiri, tidak higienis
3.  Milik sendiri terbuat dari gedhek sederhana
4.  Milik sendiri: kualitas buruk 
Pakaian
1.  Beli baru sekali setahun
2.  Beli bekas
3.  Tidak punya ganti untuk berbeda-beda kepentingan
Sumber : Hasil FGD di Sumbermulyo Bambanglipuro dan Poncosari, Srandakan (2012)


B.   Kajian terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan di dalam pasal/ayatnya sebagai berikut :
a.        pasal 27 ayat (2) bahwa  : ayat (1) Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak  bagi kemanusiaan.
b.       Pasal 28H ayat (1),  ayat (2) dan ayat (3)  bahwa : ayat (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Ayat (2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Ayat (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
c.        Pasal 34 ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Ayat (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Ketentuan tersebut memberikan makna adanya sebuah keseriusan di Bidang kesejahteraan sosial  yang harus ditindaklanjuti baik oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, agar kelompok lapis terbawah yang masuk kategori miskin dapat memperoleh penghidupan yang layak dan sejahtera.
Dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggeser sistem ketatanegaraan dari sentralisasi menuju desentralisasi, dimana  daerah diberikan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sebagai mana ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yang mengatur tantang pembagian urusan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Dalam Pasal 14 ayat (2) Nomor 32 tahun 2004 disebutkan bahwa Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
      
Untuk mengupayakan ke arah tersebut, ada beberapa langkah kebijakan yang digunakan untuk Penanggulangan Kemiskinan Daerah dengan berasaskan pada:
(1) Menciptakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat miskin,
(2) Memberdayakan masyarakat miskin agar mampu dan mau mengakses informasi, perekonomian, sosial dan politik, serta dapat menyampaikan aspirasi dan kebutuhannya,
(3) Meningkatkan kapasitas atau kemampuan masyarakat miskin agar bekerja dan berusaha produktif, dan
(4) Memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin.
Untuk mensinergikan ragam kebijakan, program atau aturan terhadap 4 asas tersebut, maka dibutuhkan mainstreaming penanggulangan kemiskinan secara konstruktif dan berkelanjutan.
Strategi penanggulangan kemiskinan yang menyeluruh sangat penting maknanya bagi kabupaten Bantul. Strategi tersebut akan menjadi arahan bagi seluruh pelaku pembangunan di kabupaten Bantul baik masyarakat luas, swasta dan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam upaya menanggulangi kemiskinan secara sistematik dan konsisten dalam jangka panjang. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah merupakan sebuah kebutuhan sesuai dengan kondisi spesifik daerah Bantul dan semua pelaku diharapkan menyepakati dan mematuhi. Sinergitas program dan kegiatan dalam penanggulangan kemiskinan terus dijalin dan ditingkatkan melalui koordinasi intensif. Koordinasi antar stakeholders dalam penanggulangan kemiskinan juga perlu dijalin dan ditingkatkan melalui forum komunikasi dan jaringan kerja yang bertemu secara rutin.
Permasalahan kemiskinan merupakan persoalan holistik yang harus menjadi tanggung jawab semua pihak. Upaya penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk mendidik masyarakat miskin untuk terus menerus menemukan dan  mengenali potensi yang dimiliki baik individu, keluarga maupun lingkungan masyarakatnya. Material, sumberdaya dan keterampilan selalu diarahkan sebagai modal dasar untuk kesejahteraan hidup. Oleh karena itu didorong tumbuhnya rasa percaya diri akan kemampuannya untuk lepas dari belenggu kemiskinan. Dengan demikian akan tumbuh kesadaran bahwa tidak akan ada individu, kelompok yang dapat keluar dari belenggu kemiskinan selain atas usaha individu, keluarga dan lingkungan itu sendiri. Oleh karena itu perlu peran serta seluruh unsur masyarakat, termasuk di dalamnya tokoh agama dan tokoh masyarakat dan Ormas untuk meminimalisir faktor internal dari individu yang bersangkutan yang menjadi penyebab kemiskinan antara lain yaitu bersikap permisif terhadap label miskin.
Diharapkan naskah akademik ini dapat menjadi acuan awal dalam merumuskan sistem penanggulangan kemiskinan jangka menengah hingga jangka panjang yang efektif dan efisien bagi seluruh pelaku pembangunan di Kabupaten Bantul. Semua stakeholders baik perangkat daerah, sektor bisnis, LSM/Ormas, organisasi profesi, perguruan tinggi, media massa, orsospol, dan komponen lainnya perlu bersama-sama bertekat untuk menanggulangi kemiskinan dalam sebuah sistem yang terpadu dan konsisten dalam jangka panjang.
Secara umum strategi yang bisa ditempuh Pemerintah Kabupaten Bantul dalam menunaikan kewajiban untuk melakukan optimalisasi anggaran daerah guna pemenuhan hak dasar masyarakat miskin, adalah sebagai berikut:
Strategi yang ditempuh  untuk  menanggulangi masalah kemiskinan adalah:
1.            Mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin antara dengan Perlindungan sosial, dengan strategi yang dilakukan untuk memberi jaminan rasa aman bagi kelompok rentan (perempuan kepala keluarga, fakir miskin, orang jompo, anak terlantar, berpenghasilan rendah maupun penyandang cacat) dan masyarakat miskin baru, baik laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi dan konflik sosial;
2.            Meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin antara lain :
a.    Penciptaan peluang berusaha dengan strategi melalui perluasan kerja dan penempatan tenaga kerja untuk mengurangi beban biaya masyarakat miskin serta meningkatkan penghasilan, menciptakan kondisi lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang memungkinkan penduduk miskin memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dan peningkatan taraf hidupnya secara berkelanjutan, sambil memberikan stimulasi dan regulasi yang berpihak kepada msyarakat miskin agar beban biaya ekonomi maupun sosial yang dihadapi oleh mereka dapat berkurang, serta memberikan layanan yang optimal terhadap upaya-upaya peningkatan pendapatan masyarakat miskin;
b.   Peningkatan sumber daya manusia, strategi yang dilakukan untuk mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan, melalui upaya-upaya pendidikan formal maupun non formal;
3.            Mengembangkan dan menjamin keberlanjutan usaha mikro dan kecil, antara lain : pemberian dana bantuan modal usaha, pemberian pinjaman bergulir, kemudahan dalam pengurusan perizinan usaha.
4.            Mensinergikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, antara lain :
a.      pemberdayaan kelembagaan masyarakat, strategi yang dilakukan untuk memperkuat kelembagaan sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat, dan memperluas partisipasi masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan dalam pengambilan keputusan, kebijakan publik yang menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar;dan
b.     Penataan kemitraan global, strategi yang dilakukan untuk menata ulang hubungan dan kerjasama dengan lembaga internasional guna mendukung pelaksanaan ke empat strategi diatas. Hal ini dapat dimulai dengan kemitraan bersama lembaga local, regional dan nasional, seperti swasta dunia usaha, PT dan LSM. 

Adapun strategi khusus yang ditempuh  untuk  menanggulangi masalah kemiskinan adalah:
1.       Revitalisasi dan replikasi Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) sebagai forum lintas pelaku dalam perumusan kebijakan, pemantauan dan evaluasi kebijakan penanggulangan kemiskinan dari mulai tingkat dusun, desa dan kecamatan.
2.       Penguatan pendidikan mental Keluarga Miskin dengan meminimalisir penyebab kemiskinan karena faktor individu (malas, tidak punya ketrampilan, boros, minder, dan ketergantungan)
3.       Memperkuat jejaring dengan berbagai pihak (termasuk peningkatan peran ulama dan tokoh agama/Ormas) untuk percepatan penaggulangan kemiskinan
4.       Supervisi, monitoring dan evaluasi kinerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) secara intensif dalam pelaksanaan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.
5.       Mendorong dan mendukung pengembangan pelembagaan partisipasi publik melalui Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah. Dalam struktur TKPK ada Pokja Pengaduan Masyarakat, diharapkan dengan adanya Pokja ini mendorong transparansi dan akuntabilitas program-program penanggulangan kemiskinan.
6.       Melindungi masyarakat dengan menyediakan pelayanan hak dasar yang memadai seperti; kecukupan pangan, pelayanan pendidikan, kesehatan, ketersediaan lapangan usaha, fasilitasi penyediaan papan/perumahan yang layak, air bersih dan sanitasi dan jaminan perlindungan social yang berperspektif gender (dalam rangka pemenuhan Millenium Development Goals (MDGs).
7.       Memperbaiki manajemen pengelolaan keuangan pemerintah untuk menghasilkan anggaran yang pro poor, berimbang dan efisien serta mendorong pelayanan publik yang prima.
8.       Meningkatkan kesetiakawanan sosial dengan menggali potensi dana masyarakat seperti GERBU, zakat dan lain-lain untuk penanggulangan kemiskinan.
Kedua strategi umum dan khusus tersebut berlaku untuk pelaksanaan pengentasan kemiskinan.  Strategi tersebut masih bersifat makro. Oleh karena itu juga diperlukan strategi mikro yang diharapkan menjadi strategi program dan berdampak pada percepatan penanggulangan kemiskinan. Strategi tersebut adalah;
1.   Validasi data Kepala Keluarga  (KK) miskin dan penguatan sistem monitoring dan evaluasi (Monev) penanggulangan kemiskinan
2.   Program pengurangan Beban Hidup KK miskin
3.   Pemberdayaan KK miskin
4.   Sosialisasi peraturan tentang penanggulangan kemiskinan
Pada umumnya keempat strategi program ini telah berjalan dengan baik, hanya saja pada program pengurangan beban hidup KK Miskin serta Pemberdayaan KK Miskin telah overlap antara program Pemerintah Pusat, Pemerintah DIY dan Kabupaten Bantul. Hal ini bisa jadi menyebabkan sasaran ganda, sementara warga yang benar-benar membutuhkan tidak tersasar. Pendampingan pasca program juga seringkali kurang sehingga masyarakat berjalan sendiri tanpa bimbingan. Program yang semula bertujuan untuk memberdayakan malah meninabobokan atau memanjakan masyarakat miskin itu sendiri. Dengan sendirinya terjadi pemborosan anggaran sementara tujuan program tidak tercapai.
Dalam hal validasi data KK Miskin harus ada kesepakatan bersama tentang unifikasi data miskin. Harus dipastikan komitmen Pemerintah Pusat untuk memberlakukan data BPS sebagai basis data atau masih fleksibel dengan mengadopsi data daerah. Bila Pemerintah Pusat serius dengan unifikasi data, maka pendataan dan konsekuensinya (anggaran) harus disupport untuk tiap-tiap tahunnya. Karena siapa pun menyadari, bahwa pendataan memakan biaya tidak kalah besar dari program-program penanggulangan kemiskinan itu sendiri. Selain itu, system monitoring dan evaluasi, sampai dengan saat ini belum terbakukan, belum mempunyai juklak dan juknis yang bisa dipedomani serta pelaksanaan evaluasi dijalankan sekedar melihat keterkaitan antara serapan anggaran dan pelaksanaan di lapangannya saja, belum sampai menyentuh pada outcome, benefit maupun impact. Apabila sudah ada tool monitoring dan evaluasi yang berupa SIM Program Penanggulangan Kemiskinan yang berfungsi seperti rapor, tentu saja akan dapat terlihat apabila seseorang “mentas” atau lulus dari kemiskinan karena intervensi program apa, bagaimana pelaksanaannya, lama waktu tempuh program serta bagaimana mekanisme pemantauannya.
Tak kalah pentingnya dalam strategi program yang keempat adalah sosialisasi peraturan yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Peraturan seperti Perbup Nomor 68 Tahun 2011 tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bantul, yang hendaknya menjadi pedoman dalam perencanaan, implementasi serta monitoring dan evaluasi program. Demikian pula pentahapan program yang dimulai dengan validasi data KK Miskin, siapa aktor yang berperan, hak dan kewajiban serta reward dan punishmentnya harus tersosialisasikan dengan baik. Sehingga maksud dan tujuan pengaturan tentang penanggulangan kemiskinan dapat diketahui bersama. Dengan adanya sosialisasi peraturan-peraturan maka akan tercapai kesepahaman sehingga overlap, kurang sinergis dan kurang kompaknya SKPD, masyarakat, dunia usaha dan Perguruan Tinggi, dapat tereliminir.

III.         EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Kebijakan yang ingin dibentuk dalam Raperda tentang Penaggulangan Kemiskinan adalah mengakomodir peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penanggulangan kemiskinan dan dinamika yang dalam masyarakat yang berhubungan dengan bidang kemiskinan. Sesuai dengan kebijakan  Pemerintah Pusat mengenai Penanggulangan Kemiskinan, maka kebijakan penanggulangan kemiskinan meliputi:
1.       Bantuan dan perlindungan sosial yang bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, serta perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin;
2.       Penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang bertujuan mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok  masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip pemberdayaan masyarakat;
3.       Penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil yang bertujuan memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha/koperasi berskala mikro.
Dalam pelaksanaannya harus mempertimbangkan 4 prinsip utama penanggulangan kemiskinan yaitu:
1.       Memperbaiki Program Perlindungan Sosial, yaitu dengan Bantuan Sosial Berbasis Keluarga (Raskin), Bantuan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (Jamkesmas) serta Bantuan Pendidikan bagi Masyarakat Miskin (Program Keluarga Harapan)
2.       Meningkatkan Akses Pelayanan Dasar dalam Pendidikan, kesehatan dan pelayanan dasar sanitasi dan air bersih
3.       Memberdayakan Kelompok Masyarakat Miskin yaitu dengan menyempurnakan pelaksanaan PNPM Mandiri
4.       Pembangunan yang inklusif yaitu dengan membangun yang dapat diakses semua lapisan, golongan masyarakat terutama masyarakat miskin dengan membantu UMKM (KUR dan Bantuan kepada Usaha Mikro), Industri Manufaktur Padat Pekerja,  Konektivitas Ekonomi (Infrastruktur), menciptakan Iklim Usaha (Pasar Kerja yang Luwes dan Infrastruktur),  Pembangunan Perdesaan serta Pembangunan Pertanian
Dengan demikian dalam penyususan Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan ini diharapkan sebagai sebagai solusi dalam memecahkan permasalahan kemiskinan dan tetap mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya.

IV.  LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

Secara teoritis, pembuatan sebuah Peraturan Daerah mendasarkan pada 3 (tiga) dasar pemikiran, yaitu dasar filosofis, dasar Sosiologis dan Dasar Yuridis.
A.   Dasar Filosofis.
Dasar filosofis merupakan dasar filsafat atau pandangan hidup yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat ke dalam suatu rancangan/draft peraturan perundang-undangan.
Dasar filosofis dari penyusunan Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan adalah adanya keinginan dari perancang Raperda untuk mewujudkan sebuah mekanisme tata kelola penanggulangan kemiskinan yang terintegrasi dalam sebuah Peraturan Daerah,  mulai dari asas, arah kebijakan dan tujuan penanggulangan kemiskinan; hak dan kewajiban warga miskin; tahapan kegiatan penanggulangan kemiskinan; prioritas penanggulangan kemiskinan; pelaksanaan kegiatan; tim koordinasi penanggulangan kemiskinan kabupaten Bantul; pengawasan monitoring dan evaluasi; pembiayaan; peran serta masyarakat; penyidikan; ketentuan pidana; dan ketentuan penutup.
Dengan pengaturan yang terintegrasi tersebut, diharapkan kegiatan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bantul dapat berjalan dengan baik dan akhirnya keberadaan peraturan daerah ini nantinya benar-benar dapat mempercepat tercapainya penurunan angka kemiskinan di Kabupaten Bantul.

B.Dasar Sosiologis
Dasar sosiologis merupakan dasar yang terdiri atas fakta-fakta yang merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat yang mendorong perlunya pembuatan perundang-undangan, yaitu bahwa ada sesuatu yang pada dasarnya dibutuhkan oleh masyarakat sehingga perlu pengaturan.
Dasar sosiologis dari Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan ini benar-benar menjadi kebutuhan dan dapat diterima oleh masyarakat. Dengan demikian para pihak yang berhubungan dengan pengentasan kemiskinan seperti pemerintah daerah, warga miskin, dan masyarakat luas merasakan manfaat adanya Perda tentang Penanggulangan Kemiskinan sehingga Perda ini nantinya dapat aplikatif.

C.Dasar Yuridis
Dasar Yuridis atau dasar hukum adalah dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan atau dasar peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berikut landasan yuridis secara lengkap yang dipergunakan dalam penyusunan Raperda Penanggulangan Kemiskinan :
1.      Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.      Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Daerah Istimewa Jogjakarta (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 44);
3.      Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 2004, Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4.      Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
5.      Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456);
6.      Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967);

7.      Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
8.      Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5235);
9.      Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);
10.  Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);
11.  Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
12.  Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan;
13.  Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 13 Tahun 2007 tentang Penetapan Urusan Pemerintahan Wajib dan Pilihan Kabupaten Bantul (Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Nomor 11 Tahun 2007);

V.    JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

Dari uraian di atas, akhirnya dapat disampaikan susbtansi materi yang akan diatur dalam Raperda tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, sebagai berikut :
1.     BAB I          : KETENTUAN UMUM
2.     BAB II         : ASAS, ARAH KEBIJAKAN DAN TUJUAN
3.     BAB III        : HAK DAN KEWAJIBAN
4.     BAB IV        : TAHAPAN KEGIATAN
5.     BAB V         : PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN
6.     BAB VI        : PELAKSANAAN
7.     BAB VII       : TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN
KEMISKINAN KABUPATEN BANTUL
8.     BAB VIII      : PENGAWASAN, MONITORING DAN EVALUASI
9.     BAB IX        : PEMBIAYAAN
10.  BAB X         : PERAN SERTA MASYARAKAT
11.  BAB XI        : PENYIDIKAN
12.  BAB XII       : KETENTUAN PIDANA
13.  BAB XIII      : KETENTUAN PENUTUP

VI.  PENUTUP
  1. Kesimpulan
1. Untuk mewujudkan hak dasar bagi masyarakat Bantul di kesejahteraan sosial, maka pengaturan tentang Penanggulangan Kemiskinan secara komprehensif dan aspiratif dalam bentuk Peraturan daerah menjadi sebuah kebutuhan yang penting.
2. Berdasarkan kewenangan yang dimiliki, Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya program penanggulangan kemiskinan tanpa diskriminasi, sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat dan angka kemiskinan akan menurun.

B. Saran
1.       Rancangan Peraturan daerah yang telah disusun ini khususnya berkenaan dengan Batang Tubuhnya perlu segera disosialisasikan sehingga mendapatkan tanggapan dari masyarakat luas guna menjadi lebih sempurna dan sesuai kebutuhan masyarakat.
2.       Peraturan-peraturan pelaksana perlu segera dirancang. Apabila Rancangan ini telah disetujui maka dalam waktu tidak lebih dari satu tahun seluruh peraturan-peraturan pelaksanaanya telah ada. Sehingga pada akhirnya dapat berguna untuk memperlancar pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar