Daerah Pemilihan selanjutnya disebut Dapil, merupakan salah satu instrumen penting dalam proses dan tahapan PEMILU. Sebagaimana telah difahami bahwa evaluasi 5 tahunan bagi partai politik segera akan dilaksanakan tahun depan, yakni tepatnya pada tanggal 9 April 2014. Salah satu tahapan yang dilaksanakan oleh KPUD sebagai salah satu bentuk kewenangannya adalah menentukan Dapili di Kabupaten.
Pada PEMILU 2009 yang lalu kabupaten Bantul terbagi menjadi 5 Dapil, yaitu : Dapil 1 : Bantul-Bambanglipuro-Jetis (8 Kursi); Dapil 2 : Kasihan-Sedayu-Pajangan (9 Kursi); Dapil 3. Sewon-Banguntapan (10 kursi); Dapil 4 : Imogiri-Pleret-Dlingo-Piyungan (9 kursi) dan Dapil 5 : Pundong-Kretek-Sanden-Pandak-Srandakan (9 kursi). Sebetulnya dari tuntutan peraturan perundangan yang mengatur mengenai PEMILU, angka kursi setiap Dapil yang berkisar antara 8-10 kursi masih sesuai dengan aturan yang ada, UU PEMILU mengatur paling banyak 12 kursi untuk setiap Dapil.
Hari kemarin (selasa, 26 Februari 2013) partai-partai peserta PEMILU diundang oleh KPUD untuk diminta masukannya berkaitan dengan rencana penyusunan Dapil Kabupaten Bantul untuk PEMILU 2014 mendatang. Semua partai politik bisa hadir dalam acara tersebut. Dari 10 partai politik peserta PEMILU 2014 yang akan datang terbagi dalam 2 arus besar dalam penentuan Dapil Kabupaten. Pertama, Gerindra, PAN dan PKS mengusulkan Dapil tetap, walaupun untuk PKS tidak menutup diskusi untuk 6 Dapil dengan sedikit modifikasi mengenai pembagian kecamatannya. Kedua, Demokrat, PDIP, P3, Nasdem, Hanura, PKB, dan Golkar setuju dengan usulan KPUD yang kedua menjadi 6 Dapil di Kabupaten Bantul. Sebelumnya KPUD bantul telah memberikan paparan mengenai kelebihan dan kekurangan serta perbandingan antara 5 dapil dan 6 Dapil. 6 Dapil sebagaimana usulan KPUD adalah : Dapil 1 : Bantul-Sewon (8 kursi); Dapil 2 : Kasihan-Sedayu (8 kursi); Dapil 3 : Sanden, Pandak, Srandakan dan Pajangan (7 kursi); Dapil 4 : Kretek, Pundong-Bambanglipuro dan Jetis (7 kursi); Dapil 5 : Imogiri-Pleret-dan Dlingo (7 kursi) dan Dapil 6 : Banguntapan - Piyungan (8 kursi).
Sedangkan modifikasi yang diusulkan PKS adalah untuk Dapil 1 : Bantul-Sewon dan Pajangan (9 kursi); Dapil 2 : Kasihan-Sedayu (8 kursi); Dapil 3 : Kretek-Sanden-Srandakan-Pandak (7 kursi); Dapil 4 : Pundong-Bambangliro-Jetis (7 kursi); Dapil 5 : Imogiri-Dlingo-Piyungan (7 kursi) dan Dapil 6 : Banguntapan-Pleret. Usulan ini terkait dengan adanya kesamaan kondisi kewilayahan terutama daerah selatan dengan kawasan pantainya dijadikan satu. Serta Banguntapan lebih dekat secara kondisinya dengan Pleret sehingga juga diusulkan dijadikan satu dapil.
Sesuai dengan prolog dari KPUD bahwa pertemuan kemarin memang tidak dalam rangka pengambilan keputusan, sehingga setelah semua parpol memberikan masukan dan pandangannya mengenai berubah atau tetapnya pembagian Dapil Kabupaten, acara kemudian diakhiri.
Menurut informasi berdasarkan sms salah satu anggota KPUD Bantul, menyebutkan bahwa sorenya (26 Februari 2013) kemarin KPUD telah melakukan pleno KPUD untuk menetapkan Dapil Kabupaten untuk Pemilu 2014 yang akan datang. SMS yang saya terima menyebutkan bahwa hasil dari pleno KPUD adalah ada perubahan jumlah dapil dari 5 menjadi 6 Dapil. Namun sayang HP anggota KPUD yang sebelumnya memberikan informasi setelah saya coba untuk menelepon atau SMS sampai pagi ini belum memberikan respon balsannya. Sehingga apakah 6 Dapil sebagaimana dimaksud oleh anggota KPUD tersebut adalah 6 Dapil seperti usulan KPU ataukah ada modifikasi kecamatannya saya belum mendapatkan informasi.
Entri yang Diunggulkan
Menghitung Upah Lembur
Kadang masih ada yang bingung mengenai kewajiban pemberi kerja tentang upah lembur. Demikian juga karyawan tidak mengetahui t...
Selasa, 26 Februari 2013
Minggu, 24 Februari 2013
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN
DAERAH
KABUPATEN BANTUL
TENTANG
PENANGGULANGAN KEMISKINAN
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Alinea IV, disebutkan
bahwa tujuan nasional bangsa Indonesia
adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
Khususnya dalam rangka mencapai tujuan
memajukan kesejahteraan umum perlu dilakukan upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh,
terarah dan terpadu, termasuk diantaranya pembangunan bidang kesejahteraan
sosial. Kemiskinan merupakan permasalahan pemerintah yang mendesak dan
memerlukan langkah-langkah penanganan dan pendekatan yang sistematik, terpadu
dan menyeluruh, dalam rangka mengurangi beban dan memenuhi hak-hak dasar warga
secara layak melalui pembangunan inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan untuk
mewujudkan kehidupan yang bermartabat.
Kemiskinan adalah suatu integrated
concept yang memiliki lima dimensi, yaitu kemiskinan (proper),
ketidakberdayaan (powerless), kerentanan menghadapi situasi darurat (state
of emergency), ketergantungan (dependence), dan dimensi keterasingan
(isolation).
Kemiskinan menurut Badan Pusat
Statistik (BPS) adalah kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami
sesorang atau rumahtangga, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal yang
layak bagi kehidupannya. Terdapat 14 variabel rumah tangga miskin program
sosial ekonomi dari BPS yang digunakan pada tahun 2005 dan 2008 yaitu: 1)
luas lantai < 8 m2, 2) lantai rumah terbuat dari tanah/bambu/kayu
murahan, 3) dinding rumah terbuat dari bambu/kayu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok
tanpa plester, 4) tidak punya fasilitas buang air buang air besar atau
bersama-sama dengan rumah lain, 5) sumber penerangan rumah bukan listrik, 6)
sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan,
7) bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah,
8) hanya mengkonsumsi daging /susu/ayam satu kali dalam seminggu atau tidak
pernah, 9) hanya dapat membeli pakaian baru sebanyak satu kali dalam setahun
atau tidak pernah, 10) hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari,
11) tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik pemerintah,
12) sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah pertanian dengan luas tanah
< 0,5 Ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau
pekerjaan lain dengan pendapatan per bulan < Rp. 600.000,00, 13) pendidikan
kepala rumah tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya tamat SD, 14) Tidak
mempunyai tabungan/barang yang mudah dijual minimal Rp.500.000,00 seperti
sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor atau barang modal
lainnya.
Kemiskinan dipandang sebagai
permasalahan yang bersifat multidimensional mencakup dimensi sosial, ekonomi,
fisik, politik, kelembagaan, dan bersifat unik untuk setiap daerah karena tiap
daerah mengandung karakteristik yang cukup bervariatif. Aksi dalam
penanggulangan kemiskinan memerlukan peran serta berbagai pelaku pembangunan
(stakeholders), baik pemerintah dan pemerintah provinsi serta pemerintah
kabupaten/kota maupun dunia usaha/swasta atau masyarakat. Pada sisi lain, dalam melaksanakan program
penanggulangan kemiskinan masih dihadapkan pula pada beberapa permasalahan
krusial seperti data base yang masih belum mampu di up date setiap
tahunnya secara kontinyu, sehingga beraneka ragamnya program
kemiskinan tidak berdampak signifikan terhadap data penurunan angka
kemiskinan.
Berdasarkan pendataan tahun 2011 di Kabupaten
Bantul terdapat 40.406 keluarga miskin dengan jumlah jiwa sebesar 128.164 orang
atau sekitar 18,4% . Mereka yang masuk dalam kategori keluarga miskin
sebetulnya masih mempunyai potensi antara lain di bidang pertanian, peternakan,
kelautan, kerajinan, katering dan lainnya. Pemberdayaan yang telah, sedang
dan akan dilakukan berupa pelatihan ketrampilan, bantuan pinjaman modal,
pendampingan, workshop dan sebagainya.
Sedang terhadap keluarga miskin yang tidak dapat diberdayakan maka intervensi yang dapat dilakukan berupa pengurangan beban seperti santunan, bantuan, jaminan kesehatan dan sebagainya.
Sedang terhadap keluarga miskin yang tidak dapat diberdayakan maka intervensi yang dapat dilakukan berupa pengurangan beban seperti santunan, bantuan, jaminan kesehatan dan sebagainya.
B. Identifikasi Masalah
Masih
tingginya angka kemiskinan di Kabupaten Bantul yakni 40.406 keluarga miskin
(128.164 orang atau sekitar 18,4%) merupakan permasalahan yang membutuhkan keseriusan
di dalam langkah-langkah penanggulangannya. Program dan kegiatan sebetulnya
sudah banyak dikerjakan dalam rangka penanggulangan kemiskinan, baik itu yang
merupakan program yang bersumber dari APBN, APBD DIY ataupun yang berasal dari
APBD kabupaten Bantul. Namun demikian masih terdapat paling tidak 5 (lima)
permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah
dalam program penanggulangan kemiskinan yaitu :
a.
Lemahnya
instusi pengelola program penanggulangan kemiskinan
b.
Data
basis keluarga miskin belum tersedia secara baik dan dipergunakan dalam intervensi program penanggulangan kemiskinan
c.
Belum
ada mekanisme dan sistem pencatatan dan pelaporan program penanggulangan
kemiskinan
d.
Dukungan
anggaran operasional penanggulangan kemiskinan yang masih terbatas
e.
Keterbatasan
petugas lapangan
Disahkannya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011
tentang Penanganan Fakir Miskin merupakan pedoman dalam menyusun regulasi berupa peraturan daerah yang
mengatur dan mengamanatkan secara tegas mengenai
penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bantul.
Karena kemiskinan merupakan masalah
yang bersifat multi dimensi, multi sektor dengan beragam karakteristik yang
harus segera diatasi serta menyangkut harkat dan martabat manusia, maka
penanggulangan kemiskinan perlu keterpaduan program diantara lembaga dan dunia
usaha serta melibatkan partisipasi masyarakat.
Upaya penanggulangan kemiskinan dapat
berjalan optimal, efektif, efisien, dan terprogram secara terpadu serta
berkelanjutan, maka diperlukan peraturan berupa peraturan daerah bagi
penyelenggara pemerintah Kabupaten Bantul, dunia usaha dan seluruh komponen
masyarakat.
C.
Tujuan
dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik
1.
Tujuan :
a. Memudahkan penyusunan kerangka
pemikiran bagi Perancang Peraturan Daerah Kabupaten Bantul tentang
Penanggulangan Kemiskinan.
b. Mengkaji dan
meneliti pokok-pokok materi apa saja yang ada dan harus ada dalam Rancangan
Peraturan Daerah tentang Penanggulangan Kemiskinan.
c. Melihat keterkaitannya dengan peraturan
perundang-undangan lainnya sehingga jelas kedudukan dan ketentuan yang
diaturnya.
d. Memberikan bahan dan data untuk menjadi
bahan pembanding dan mempertegas pentingnya merancang Rancangan Peraturan
Daerah tentang Penanggulangan
Kemiskinan.
2. Kegunaan
:
Tujuan Naskah akademis ini adalah sebagai acuan untuk merumuskan
pokok-pokok pikiran yang akan menjadi bahan dan dasar bagi penyusunaan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Penanggulangan
Kemiskinan.
Dengan
demikian dengan panduan dari naskah Akademik tersebut diharapkan Peraturan
Daerah Kabupaten Bantul tentang Penanggulangan Kemiskinan, benar-benar sesuai kegunaan, yaitu :
1.
Memberikan
landasan hukum atau regulasi yang komprehensif dalam Penanggulangan Kemiskinan.
2.
Dengan
adanya peraturan daerah ini diharapkan terjadi mekanisme yang baku dalam Penanggulangan
Kemiskinan.
D.
Metode
Penelitian
1.
Jenis
Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kepustakaan
(library reseacrh) dengan menelusuri buku-buku dan dokumen yang
berkaitan.
2.
Subyek
Penelitian
Dalam hal ini yang menjadi subyek
penelitian adalah warga masyarakat kabupaten Bantul.
3.
Teknik
Pendekatan
Pendekatan yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah Pendekatan Hukum (normative) yaitu meneliti bahan
pustaka atau data sekunder yang mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan
tersier.
4. Sumber
Data
Sumber data yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah :
a.
Primer
yaitu sumber bahan atau dokumen yang dikemukakan atau digambarkan sendiri oleh
orang atau fihak yang hadir pada waktu kejadian yang digambarkan tersebut
berlangsung, sehingga mereka dapat dijadikan saksi.
b.
Sekunder
yaitu sumber bahan kajian yang digambarkan oleh bukan orang yang ikut mengalami
atau hadir pada waktu kejadian sedang berlangsung.
5.
Teknik
Pengumpulan Data dan Bahan Hukum
Teknik yang dipergunakan dalam
melakukan penelitian ini adalah :
a.
Untuk
data primer, teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah wawancara kepada
subyek penelitian.
b.
Untuk
data sekunder, teknik pengumpulan data adalah melalui studi pustaka yang
terdiri dari :
1). Bahan hukum primer, yaitu
bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari norma atau kaidah
dasar,peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak
terkodifikasi, yurisprudensi, traktat, bahan hukum lainnya yang masih berlaku
sebagai hukum positif.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan
hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan
undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan
lain-lainnya.
3) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan
hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer,
dan sekunder, misalnya kamus hukum, ensiklopedia, indek komulatif, dan lain-lainnya.
II.
KAJIAN
TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS
A.
Kajian
Teoritis
Pemberlakuan sistem desentralisasi
akibat pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, memberi dampak terhadap pelaksanaan
pada program peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program
penanggulangan kemiskinan di daerah.
Sesuai dengan kebijakan
Pemerintah Pusat mengenai Penanggulangan Kemiskinan, maka kebijakan
penanggulangan kemiskinan meliputi:
a. Bantuan dan perlindungan sosial yang bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup,
serta perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin;
b. Penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan mengembangkan
potensi dan memperkuat kapasitas kelompok
masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada
prinsip pemberdayaan masyarakat;
c. Penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan
usaha mikro dan kecil yang bertujuan memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi
pelaku usaha/koperasi berskala mikro.
Dalam pelaksanaannya harus
mempertimbangkan 4 prinsip utama penanggulangan kemiskinan yaitu:
a.
Memperbaiki Program Perlindungan Sosial, yaitu dengan Bantuan Sosial
Berbasis Keluarga (Raskin), Bantuan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (Jamkesmas)
serta Bantuan Pendidikan bagi Masyarakat Miskin (Program Keluarga Harapan)
b. Meningkatkan
Akses Pelayanan Dasar dalam Pendidikan, kesehatan dan pelayanan dasar sanitasi
dan air bersih
c. Memberdayakan
Kelompok Masyarakat Miskin yaitu dengan menyempurnakan pelaksanaan PNPM Mandiri
d. Pembangunan
yang inklusif yaitu dengan membangun yang dapat diakses semua lapisan, golongan
masyarakat terutama masyarakat miskin dengan membantu UMKM (KUR dan Bantuan
kepada Usaha Mikro), Industri Manufaktur Padat Pekerja, Konektivitas Ekonomi (Infrastruktur),
menciptakan Iklim Usaha (Pasar Kerja yang Luwes dan Infrastruktur), Pembangunan Perdesaan serta Pembangunan
Pertanian
Kabupaten Bantul mempunyai indikator
kemiskinan tersendiri yang berbeda dengan Indikator kemiskinan nasional yang
dipakai BPS. Indikator kemiskinan Kabupaten Bantul telah pernah dievaluasi
melalui studi yang dilaksanakan pada tahun 2010. Namun demikian, hasil evaluasi
tersebut belum dapat dipakai untuk mengganti indikator yang sudah tidak relevan
lagi sesuai dengan perkembangan jaman. Menurut hasil wawancara, perubahan
indikator akan memerlukan waktu dan tenaga karena perlu sosialisasi kepada
petugas pendata di lapangan, mempengaruhi perubahan penilaian, yang akhirnya
juga mempengaruhi jumlah KK Miskin secara keseluruhan. Berikut adalah indikator
kemiskinan Kabupaten Bantul.
Tabel 1
Indikator Kemiskinan Kabupaten Bantul
Berdasarkan hasil studi Evaluasi Indikator
Kemiskinan (2010) tersebut, yang paling mempengaruhi jatuhnya keluarga ke dalam
katagori kemiskinan adalah karena penghasilan, jumlah kekayaan (aset), papan (tempat tinggal), sandang, kesehatan
dan air bersih. Dari sini bisa dilihat bahwa aspek yang dinilai secara dominan
adalah aspek ekonomi. Sedangkan aspek
pendidikan, kesehatan (sosial) merupakan aspek yang mengikuti dari kurang
tersedianya aspek penghasilan dan kekayaan (ekonomi).
Dari Indikator kemiskinan tersebut dapat
dilihat dari tiga dimensi, yaitu dimensi ekonomi, sosial, dan fisik. Melalui
metode FGD, masing-masing dimensi terdiri atas dapat dibreakdown dalam beberapa
aspek. Dari tiap-tiap aspek tersebut diperoleh indikator kemiskinan, seperti
terlihat pada data tabel 3.2. berikut ini
Tabel 2
Daftar Indikator
Kemiskinan
No.
|
Dimensi
|
Aspek
|
Indikator
|
1
|
Ekonomi
|
Pekerjaan
|
1.
Penganggur
|
2.
Buruh Serabutan
|
|||
3.
Buruh gendong
|
|||
4.
Tukang becak
|
|||
5.
Kernet
|
|||
6.
Tukang cuci
|
|||
7.
Tukang sampah
|
|||
8.
Pembantu Rumahtangga
|
|||
9.
Pelayan toko
|
|||
10. Pemulung
|
|||
11. Petani penggarap
|
|||
12. Petani gurem
|
|||
13. Pedagang
kecil-kecilan
|
|||
14. Pedagang asongan
|
|||
15. Pensiunan Gol I
|
|||
16. Pegawai honorer
|
|||
Penghasilan
|
1.
< Rp. 500.000/bln
|
||
2.
Tanggungan > 4 orang
|
|||
Pendidikan
|
1.
Pendidikan tertinggi KK SLTP
|
||
2.
Tak ada anggota KK yang tamat SLTA
|
|||
Kompetensi
|
1.
Kurang
|
||
2.
Tak memiliki ketrampilan kerja
|
|||
3.
Tak memiliki jiwa kewirausahaan
|
|||
Modal
|
1.
Tidak memiliki modal
|
||
2.
Modal sangat kecil
|
|||
Akses
|
1.
Tak bisa memperoleh informasi yang dibutuhkan
|
||
2.
Tidak mampu berurusan dengan birokrasi
|
|||
3.
Tidak ada tempat untuk ”mengadu”/ berbagi
|
|||
2
|
Sosial
|
Kesehatan
|
1.
Jompo
|
2.
Sakit menahun
|
|||
3.
Tidak bisa dan tak mampu memanfaatkan layanan kesehatan
modern
|
|||
4.
Pola makan tidak menentu
|
|||
5.
Kurang gizi
|
|||
6.
Tempat tinggal tidak higienis
|
|||
7.
Lingkungan tidak higienis
|
|||
Sikap hidup
|
1. Mudah putus
asa dalam menghadapi masalah
|
||
2.
Mudah menyerah
|
|||
3.
Tidak ulet
|
|||
4.
Boros
|
|||
5.
Suka jaga gengsi
|
|||
6.
Rendah diri/minder
|
|||
Lingkungan
|
1.
Tradisi nyumbang
|
||
2.
Banyak penjudi
|
|||
3
|
Fisik
|
Rumah
|
1.
Kontrak/Ngindung
|
2.
Milik sendiri, tidak higienis
|
|||
3.
Milik sendiri terbuat dari gedhek sederhana
|
|||
4.
Milik sendiri:
kualitas buruk
|
|||
Pakaian
|
1.
Beli baru
sekali setahun
|
||
2.
Beli bekas
|
|||
3.
Tidak punya ganti untuk berbeda-beda kepentingan
|
Sumber : Hasil FGD di Sumbermulyo Bambanglipuro dan Poncosari,
Srandakan (2012)
B.
Kajian
terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
mengamanatkan di dalam pasal/ayatnya sebagai berikut :
a.
pasal
27 ayat (2) bahwa : ayat (1) Tiap-tiap warganegara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.
b. Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) bahwa : ayat (1) Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Ayat (2)
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Ayat
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
c.
Pasal
34 ayat (1) Fakir miskin
dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Ayat (2) Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
|
Ketentuan tersebut memberikan makna
adanya sebuah keseriusan di Bidang kesejahteraan sosial yang harus ditindaklanjuti baik oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, agar kelompok lapis terbawah yang masuk
kategori miskin dapat memperoleh penghidupan yang layak dan sejahtera.
Dengan telah ditetapkannya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggeser
sistem ketatanegaraan dari sentralisasi menuju desentralisasi, dimana daerah diberikan hak, wewenang dan kewajiban
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sebagai mana
ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
yang mengatur tantang pembagian urusan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota.
Dalam Pasal 14 ayat (2) Nomor 32 tahun
2004 disebutkan bahwa Urusan pemerintahan
kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang
secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Untuk mengupayakan ke arah tersebut, ada beberapa langkah kebijakan yang digunakan untuk Penanggulangan Kemiskinan Daerah dengan berasaskan pada:
Untuk mengupayakan ke arah tersebut, ada beberapa langkah kebijakan yang digunakan untuk Penanggulangan Kemiskinan Daerah dengan berasaskan pada:
(1) Menciptakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat
miskin,
(2) Memberdayakan masyarakat miskin agar mampu dan mau mengakses
informasi, perekonomian, sosial dan politik, serta dapat menyampaikan aspirasi
dan kebutuhannya,
(3) Meningkatkan kapasitas atau kemampuan masyarakat miskin agar bekerja
dan berusaha produktif, dan
(4) Memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin.
Untuk mensinergikan ragam
kebijakan, program atau aturan terhadap 4 asas tersebut, maka dibutuhkan mainstreaming penanggulangan kemiskinan secara
konstruktif dan berkelanjutan.
Strategi penanggulangan
kemiskinan yang menyeluruh sangat penting maknanya bagi kabupaten Bantul.
Strategi tersebut akan menjadi arahan bagi seluruh pelaku pembangunan di
kabupaten Bantul baik masyarakat luas, swasta dan pemerintah daerah maupun
pemerintah pusat dalam upaya menanggulangi kemiskinan secara sistematik dan
konsisten dalam jangka panjang. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah
merupakan sebuah kebutuhan sesuai dengan kondisi spesifik daerah Bantul dan
semua pelaku diharapkan menyepakati dan mematuhi. Sinergitas program dan
kegiatan dalam penanggulangan kemiskinan terus dijalin dan ditingkatkan melalui
koordinasi intensif. Koordinasi antar stakeholders dalam penanggulangan kemiskinan
juga perlu dijalin dan ditingkatkan melalui forum komunikasi dan jaringan kerja
yang bertemu secara rutin.
Permasalahan kemiskinan merupakan
persoalan holistik yang harus menjadi tanggung jawab semua pihak. Upaya
penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk mendidik masyarakat miskin untuk
terus menerus menemukan dan mengenali
potensi yang dimiliki baik individu, keluarga maupun lingkungan masyarakatnya.
Material, sumberdaya dan keterampilan selalu diarahkan sebagai modal dasar
untuk kesejahteraan hidup. Oleh karena itu didorong tumbuhnya rasa percaya diri
akan kemampuannya untuk lepas dari belenggu kemiskinan. Dengan demikian akan
tumbuh kesadaran bahwa tidak akan ada individu, kelompok yang dapat keluar dari
belenggu kemiskinan selain atas usaha individu, keluarga dan lingkungan itu
sendiri. Oleh karena itu perlu peran serta seluruh unsur masyarakat, termasuk
di dalamnya tokoh agama dan tokoh masyarakat dan Ormas untuk meminimalisir
faktor internal dari individu yang bersangkutan yang menjadi penyebab
kemiskinan antara lain yaitu bersikap permisif terhadap label miskin.
Diharapkan naskah akademik ini
dapat menjadi acuan awal dalam merumuskan sistem penanggulangan kemiskinan
jangka menengah hingga jangka panjang yang efektif dan efisien bagi seluruh pelaku
pembangunan di Kabupaten Bantul. Semua stakeholders baik perangkat daerah, sektor
bisnis, LSM/Ormas, organisasi profesi, perguruan tinggi, media massa, orsospol,
dan komponen lainnya perlu bersama-sama bertekat untuk menanggulangi kemiskinan
dalam sebuah sistem yang terpadu dan konsisten dalam jangka panjang.
Secara umum strategi yang bisa ditempuh Pemerintah Kabupaten Bantul dalam
menunaikan kewajiban untuk melakukan optimalisasi anggaran daerah guna
pemenuhan hak dasar masyarakat miskin, adalah sebagai berikut:
Strategi yang ditempuh untuk
menanggulangi masalah kemiskinan adalah:
1.
Mengurangi beban
pengeluaran masyarakat miskin antara dengan Perlindungan
sosial, dengan strategi yang dilakukan untuk memberi jaminan rasa aman bagi
kelompok rentan (perempuan kepala keluarga, fakir miskin, orang jompo, anak
terlantar, berpenghasilan rendah maupun penyandang cacat) dan masyarakat miskin
baru, baik laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh bencana alam, dampak
negatif krisis ekonomi dan konflik sosial;
2.
Meningkatkan kemampuan dan
pendapatan masyarakat miskin antara lain :
a. Penciptaan peluang berusaha
dengan strategi melalui perluasan kerja dan penempatan tenaga kerja untuk
mengurangi beban biaya masyarakat miskin serta meningkatkan penghasilan,
menciptakan kondisi lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang memungkinkan
penduduk miskin memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya dalam pemenuhan
hak-hak dan peningkatan taraf hidupnya secara berkelanjutan, sambil memberikan
stimulasi dan regulasi yang berpihak kepada msyarakat miskin agar beban biaya
ekonomi maupun sosial yang dihadapi oleh mereka dapat berkurang, serta
memberikan layanan yang optimal terhadap upaya-upaya peningkatan pendapatan
masyarakat miskin;
b. Peningkatan sumber daya
manusia, strategi yang dilakukan untuk mengembangkan kemampuan dasar dan
kemampuan berusaha masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan agar
dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan, melalui upaya-upaya pendidikan
formal maupun non formal;
3.
Mengembangkan dan menjamin
keberlanjutan usaha mikro dan kecil, antara lain : pemberian dana bantuan modal usaha, pemberian
pinjaman bergulir, kemudahan dalam pengurusan perizinan usaha.
4.
Mensinergikan kebijakan dan
program penanggulangan kemiskinan, antara lain :
a.
pemberdayaan kelembagaan masyarakat, strategi
yang dilakukan untuk memperkuat kelembagaan sosial, politik, ekonomi dan budaya
masyarakat, dan memperluas partisipasi masyarakat miskin, baik laki-laki maupun
perempuan dalam pengambilan keputusan, kebijakan publik yang menjamin
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar;dan
b.
Penataan kemitraan global, strategi yang
dilakukan untuk menata ulang hubungan dan kerjasama dengan lembaga
internasional guna mendukung pelaksanaan ke empat strategi diatas. Hal ini
dapat dimulai dengan kemitraan bersama lembaga local, regional dan nasional,
seperti swasta dunia usaha, PT dan LSM.
Adapun strategi khusus yang ditempuh untuk
menanggulangi masalah kemiskinan adalah:
1. Revitalisasi dan replikasi Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) sebagai forum lintas pelaku dalam perumusan
kebijakan, pemantauan dan evaluasi kebijakan penanggulangan kemiskinan dari
mulai tingkat dusun, desa dan kecamatan.
2. Penguatan pendidikan mental Keluarga Miskin
dengan meminimalisir penyebab kemiskinan karena faktor individu (malas, tidak
punya ketrampilan, boros, minder, dan ketergantungan)
3. Memperkuat jejaring dengan berbagai pihak
(termasuk peningkatan peran ulama dan tokoh agama/Ormas) untuk percepatan
penaggulangan kemiskinan
4. Supervisi, monitoring dan evaluasi kinerja
Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) secara intensif dalam pelaksanaan
kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.
5. Mendorong dan mendukung pengembangan pelembagaan
partisipasi publik melalui Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah.
Dalam struktur TKPK ada Pokja Pengaduan Masyarakat, diharapkan dengan adanya
Pokja ini mendorong transparansi dan akuntabilitas program-program
penanggulangan kemiskinan.
6. Melindungi masyarakat dengan menyediakan
pelayanan hak dasar yang memadai seperti; kecukupan pangan, pelayanan
pendidikan, kesehatan, ketersediaan lapangan usaha, fasilitasi penyediaan
papan/perumahan yang layak, air bersih dan sanitasi dan jaminan perlindungan
social yang berperspektif gender (dalam rangka pemenuhan Millenium Development
Goals (MDGs).
7. Memperbaiki manajemen pengelolaan keuangan
pemerintah untuk menghasilkan anggaran yang pro poor, berimbang dan efisien serta mendorong
pelayanan publik yang prima.
8. Meningkatkan kesetiakawanan sosial dengan
menggali potensi dana masyarakat seperti GERBU, zakat dan lain-lain untuk
penanggulangan kemiskinan.
Kedua strategi umum dan khusus tersebut berlaku untuk pelaksanaan
pengentasan kemiskinan. Strategi
tersebut masih bersifat makro. Oleh karena itu juga diperlukan strategi mikro
yang diharapkan menjadi strategi program dan berdampak pada percepatan penanggulangan
kemiskinan. Strategi tersebut adalah;
1.
Validasi
data Kepala Keluarga (KK) miskin dan
penguatan sistem monitoring dan evaluasi (Monev) penanggulangan kemiskinan
2.
Program
pengurangan Beban Hidup KK miskin
3.
Pemberdayaan
KK miskin
4.
Sosialisasi
peraturan tentang penanggulangan kemiskinan
Pada umumnya
keempat strategi program ini telah berjalan dengan baik, hanya saja pada
program pengurangan beban hidup KK Miskin serta Pemberdayaan KK Miskin telah overlap antara program Pemerintah Pusat,
Pemerintah DIY
dan Kabupaten Bantul. Hal ini bisa jadi menyebabkan sasaran ganda,
sementara warga yang benar-benar membutuhkan tidak tersasar. Pendampingan pasca
program juga seringkali kurang sehingga masyarakat berjalan sendiri tanpa
bimbingan. Program yang semula bertujuan untuk memberdayakan malah
meninabobokan atau memanjakan masyarakat miskin itu sendiri. Dengan sendirinya
terjadi pemborosan anggaran sementara tujuan program tidak tercapai.
Dalam hal
validasi data KK Miskin harus ada kesepakatan bersama tentang unifikasi data
miskin. Harus dipastikan komitmen Pemerintah Pusat untuk memberlakukan data BPS
sebagai basis data atau masih fleksibel dengan mengadopsi data daerah. Bila
Pemerintah Pusat serius dengan unifikasi data, maka pendataan dan
konsekuensinya (anggaran) harus disupport untuk tiap-tiap tahunnya. Karena
siapa pun menyadari, bahwa pendataan memakan biaya tidak kalah besar dari
program-program penanggulangan kemiskinan itu sendiri. Selain itu, system
monitoring dan evaluasi, sampai dengan saat ini belum terbakukan, belum
mempunyai juklak dan juknis yang bisa dipedomani serta pelaksanaan evaluasi
dijalankan sekedar melihat keterkaitan antara serapan anggaran dan pelaksanaan
di lapangannya saja, belum sampai menyentuh pada outcome, benefit maupun impact.
Apabila sudah ada tool monitoring dan
evaluasi yang berupa SIM Program Penanggulangan Kemiskinan yang berfungsi
seperti rapor, tentu saja akan dapat terlihat apabila seseorang “mentas” atau
lulus dari kemiskinan karena intervensi program apa, bagaimana pelaksanaannya,
lama waktu tempuh program serta bagaimana mekanisme pemantauannya.
Tak kalah
pentingnya dalam strategi program yang keempat adalah sosialisasi peraturan
yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Peraturan seperti Perbup Nomor
68 Tahun 2011 tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bantul, yang
hendaknya menjadi pedoman dalam perencanaan, implementasi serta monitoring dan
evaluasi program. Demikian pula pentahapan program yang dimulai dengan validasi
data KK Miskin, siapa aktor yang berperan, hak dan kewajiban serta reward dan punishmentnya harus tersosialisasikan dengan baik. Sehingga maksud
dan tujuan pengaturan tentang penanggulangan kemiskinan dapat diketahui
bersama. Dengan adanya sosialisasi peraturan-peraturan maka akan tercapai
kesepahaman sehingga overlap, kurang
sinergis dan kurang kompaknya SKPD, masyarakat, dunia usaha dan Perguruan
Tinggi, dapat tereliminir.
III.
EVALUASI
DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Kebijakan yang ingin dibentuk dalam Raperda tentang
Penaggulangan Kemiskinan adalah mengakomodir peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan penanggulangan kemiskinan dan dinamika yang dalam masyarakat
yang berhubungan dengan bidang kemiskinan. Sesuai dengan kebijakan Pemerintah Pusat mengenai Penanggulangan
Kemiskinan, maka kebijakan penanggulangan kemiskinan meliputi:
1. Bantuan dan perlindungan sosial yang bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup,
serta perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin;
2. Penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan mengembangkan
potensi dan memperkuat kapasitas kelompok
masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada
prinsip pemberdayaan masyarakat;
3. Penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan
usaha mikro dan kecil yang bertujuan memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi
pelaku usaha/koperasi berskala mikro.
Dalam pelaksanaannya harus
mempertimbangkan 4 prinsip utama penanggulangan kemiskinan yaitu:
1. Memperbaiki Program
Perlindungan Sosial, yaitu dengan Bantuan Sosial Berbasis Keluarga (Raskin),
Bantuan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (Jamkesmas) serta Bantuan Pendidikan
bagi Masyarakat Miskin (Program Keluarga Harapan)
2.
Meningkatkan Akses Pelayanan Dasar dalam
Pendidikan, kesehatan dan pelayanan dasar sanitasi dan air bersih
3.
Memberdayakan Kelompok Masyarakat Miskin
yaitu dengan menyempurnakan pelaksanaan PNPM Mandiri
4.
Pembangunan yang inklusif yaitu dengan
membangun yang dapat diakses semua lapisan, golongan masyarakat terutama
masyarakat miskin dengan membantu UMKM (KUR dan Bantuan kepada Usaha Mikro),
Industri Manufaktur Padat Pekerja,
Konektivitas Ekonomi (Infrastruktur), menciptakan Iklim Usaha (Pasar
Kerja yang Luwes dan Infrastruktur),
Pembangunan Perdesaan serta Pembangunan Pertanian
Dengan demikian dalam penyususan Raperda
tentang Penanggulangan Kemiskinan ini diharapkan sebagai sebagai solusi dalam
memecahkan permasalahan kemiskinan dan tetap mendasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang ada di atasnya.
IV. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN
YURIDIS
Secara teoritis, pembuatan sebuah Peraturan Daerah mendasarkan
pada 3 (tiga)
dasar pemikiran, yaitu dasar filosofis, dasar Sosiologis dan Dasar Yuridis.
A.
Dasar
Filosofis.
Dasar filosofis merupakan dasar filsafat
atau pandangan hidup yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat ke
dalam suatu rancangan/draft peraturan perundang-undangan.
Dasar filosofis dari penyusunan Raperda
tentang Penanggulangan Kemiskinan adalah adanya keinginan dari perancang Raperda
untuk mewujudkan sebuah mekanisme tata kelola penanggulangan kemiskinan yang
terintegrasi dalam sebuah Peraturan Daerah,
mulai dari asas, arah kebijakan dan tujuan penanggulangan kemiskinan;
hak dan kewajiban warga miskin; tahapan kegiatan penanggulangan kemiskinan;
prioritas penanggulangan kemiskinan; pelaksanaan kegiatan; tim koordinasi
penanggulangan kemiskinan kabupaten Bantul; pengawasan monitoring dan evaluasi;
pembiayaan; peran serta masyarakat; penyidikan; ketentuan pidana; dan ketentuan
penutup.
Dengan pengaturan yang terintegrasi
tersebut, diharapkan kegiatan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bantul
dapat berjalan dengan baik dan akhirnya keberadaan peraturan daerah ini
nantinya benar-benar dapat mempercepat tercapainya penurunan angka kemiskinan
di Kabupaten Bantul.
B.Dasar Sosiologis
Dasar sosiologis merupakan dasar yang
terdiri atas fakta-fakta yang merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat yang
mendorong perlunya pembuatan perundang-undangan, yaitu bahwa ada sesuatu yang
pada dasarnya dibutuhkan oleh masyarakat sehingga perlu pengaturan.
Dasar sosiologis dari Raperda tentang Penanggulangan
Kemiskinan ini benar-benar
menjadi kebutuhan dan dapat diterima oleh masyarakat. Dengan demikian para pihak yang berhubungan dengan pengentasan
kemiskinan seperti
pemerintah daerah, warga
miskin, dan masyarakat
luas merasakan manfaat adanya Perda tentang Penanggulangan
Kemiskinan sehingga Perda ini
nantinya dapat aplikatif.
C.Dasar Yuridis
Dasar Yuridis atau dasar hukum adalah
dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan atau dasar peraturan
perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berikut
landasan yuridis secara lengkap yang dipergunakan dalam penyusunan Raperda
Penanggulangan Kemiskinan :
1.
Pasal
18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten Dalam
Lingkungan Daerah Istimewa Jogjakarta (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
1950 Nomor 44);
3.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004, Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4.
Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
5.
Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4456);
6.
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4967);
7.
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
8.
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5235);
9.
Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4575);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun
2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
12. Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010
tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan;
13. Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor
13 Tahun 2007 tentang Penetapan Urusan Pemerintahan Wajib dan Pilihan Kabupaten
Bantul (Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Nomor 11 Tahun 2007);
V.
JANGKAUAN,
ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
Dari uraian di atas, akhirnya dapat
disampaikan susbtansi materi yang akan diatur dalam Raperda tentang Pengelolaan
dan Penyelenggaraan Pendidikan, sebagai berikut :
1.
BAB
I : KETENTUAN UMUM
2.
BAB
II : ASAS, ARAH KEBIJAKAN DAN TUJUAN
3.
BAB
III : HAK DAN KEWAJIBAN
4.
BAB
IV : TAHAPAN KEGIATAN
5.
BAB
V : PRIORITAS PENANGGULANGAN
KEMISKINAN
6.
BAB
VI : PELAKSANAAN
7.
BAB
VII : TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN
KEMISKINAN KABUPATEN BANTUL
8.
BAB
VIII : PENGAWASAN, MONITORING DAN
EVALUASI
9.
BAB
IX : PEMBIAYAAN
10. BAB X :
PERAN SERTA MASYARAKAT
11. BAB XI :
PENYIDIKAN
12. BAB XII :
KETENTUAN PIDANA
13. BAB XIII : KETENTUAN PENUTUP
VI. PENUTUP
- Kesimpulan
1. Untuk mewujudkan hak dasar bagi
masyarakat Bantul di kesejahteraan sosial, maka pengaturan tentang Penanggulangan
Kemiskinan secara komprehensif dan aspiratif dalam bentuk Peraturan daerah
menjadi sebuah kebutuhan yang penting.
2. Berdasarkan kewenangan yang dimiliki,
Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin
terselenggaranya program penanggulangan kemiskinan tanpa diskriminasi, sehingga
tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat dan angka kemiskinan akan menurun.
B. Saran
1.
Rancangan
Peraturan daerah yang telah disusun ini khususnya berkenaan dengan Batang
Tubuhnya perlu segera disosialisasikan sehingga mendapatkan tanggapan dari
masyarakat luas guna menjadi lebih sempurna dan sesuai kebutuhan masyarakat.
2.
Peraturan-peraturan
pelaksana perlu segera dirancang. Apabila Rancangan ini telah disetujui maka
dalam waktu tidak lebih dari satu tahun seluruh peraturan-peraturan
pelaksanaanya telah ada. Sehingga pada akhirnya dapat berguna untuk
memperlancar pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini.
Langganan:
Postingan (Atom)