Entri yang Diunggulkan

Menghitung Upah Lembur

               Kadang masih ada yang bingung mengenai kewajiban pemberi kerja tentang upah lembur. Demikian juga karyawan tidak mengetahui t...

Senin, 09 April 2012

Draft Raperda Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan

RANCANGAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL
NOMOR         TAHUN 2012
TENTANG
PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BANTUL,

Menimbang  :     bahwa  untuk melaksanakan ketentuan Pasal 29 ayat (2) huruf f  Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan;

Mengingat  : 1.   Pasal    18 ayat   (1)  Undang-Undang  Dasar  Negara Republik  Indonesia Tahun 1945;
2.  Undang-undang Nomor 15 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Dalam Lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 44);
3.      Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839);
4.      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
5.      Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
6.      Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
7.      Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
8.      Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1950 tentang Penetapan Mulai Berlakunya Undang-undang 1950 Nomor 12, 13, 14 dan 15 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 59);
9.      Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor  );
10.   Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
11.   Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4863);
12.   Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4864);
13.   Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 194, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4941);
14.   Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5105);
15.   Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan;
16.   Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.07/2009 tentang Alokasi Anggaran Belanja Fungsi Pendidikan Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
17.   Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 14 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2006-2025 (Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2005 Seri D Nomor 14) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 12 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 14 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2006-2025 (Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2010 Seri D Nomor 12)
18.   Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 16 Tahun 2007 tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah di Lingkungan Kabupaten Bantul    (Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2006 Seri D Nomor 07) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 16 Tahun 2007 tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bantul (Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Seri D Tahun 2011 Nomor .... Tahun 2011)
19.   Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 13 Tahun 2007 tentang Penetapan Urusan Pemerintahan Wajib dan Pilihan Kabupaten Bantul (Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Seri D Nomor 11 Tahun 2007);
20.   Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 01 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2011-2015 (Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2011 Seri D Nomor 01);


Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANTUL
dan
BUPATI BANTUL,
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1.    Daerah adalah Kabupaten Bantul.
2.    Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Bantul.
3.    Bupati adalah Bupati Bantul.
4.    Organisasi Perangkat Daerah adalah Organisasi Perangkat Daerah kabupaten Bantul yang terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat dewan, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan di Kabupaten Bantul.
5.    Dinas adalah Perangkat Daerah yang bertanggung jawab di bidang pendidikan.
6.    Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara yang diselenggarakan di Kabupaten Bantul.
7.    Pengelolaan pendidikan adalah pengaturan kewenangan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat, dan satuan pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
8.    Penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
9.    Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
10.  Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarka tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.
11.  Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.
12.  Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelengggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.


13.  Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam  memasuki pendidikan lebih lanjut.
14.  Taman kanak-kanak selanjutnya disebut TK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak usia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.
15.  Raudhatul Athfal selanjutnya disebut RA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan agama Islam bagi anak usia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.
16.  Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang  yang terdiri atas pendidikan dasar  dan pendidikan menengah.
17.  Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal yang melandasi jenjang pendidikan menengah, yang diselenggarakan pada satuan pendidikan berbentuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta menjadi satu kesatuan kelanjutan pendidikan pada satuan pendidikan yang berbentuk Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah, atau bentuk lain yang sederajat.
18.  Sekolah Dasar yang selanjutnya disebut SD adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjeng pendidikan dasar.
19.  Madrasah Ibtidaiyah yang selanjutnya disebut MI adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar di dalam binaan Departemen Agama.
20.  Sekolah Menengah Pertama yang selanjutnya disebut SMP adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI atau bentuk lain yang sederajat.
21.  Madrasah Tsanawiyah yang selanjutnya disebut MTs adalah adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI atau bentuk lain yang sederajat.
22.  Pendidikan menengah adalah jenjang pendidikan lanjutan pada jalur pendidikan formal yang merupakan lanjutan pendidikan dasar, berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat.
23.  Sekolah Menengah Atas yang selanjutnya disebut SMA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat.
24.  Madrasah Aliyah yang selanjutnya disebut MA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs atau bentuk lain yang sederajat di dalam binaan Departemen Agama.
25.  Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disebut SMK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat.
26.  Madrasah Aliyah Kejuruan yang selanjutnya disebut MAK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat di dalam binaan Departemen Agama.
27.  Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
28.  Standar pelayanan minimal adalah kriteria minimal berupa nilai kumulatif pemenuhan Standar Nasional Pendidikan yang harus dipenuhi oleh setiap satuan pendidikan.
29.  Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan.
30.  Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
31.  Kelompok belajar adalah satuan pendidikan nonformal yang terdiri atas sekumpulan warga masyarakat yang saling membelajarkan pengalaman dan kemampuan dalam rangka meningkatkan mutu dan taraf kehidupannya.
32.  Pusat kegiatan belajar masyarakat adalah satuan pendidikan nonformal yang menyelenggarakan berbagai kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhan masyarakat atas dasar prakarsa dari, oleh dan untuk masyarakat.
33.  Pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan keunggulan kompetitif dan/atau komparatif daerah.
34.  Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan menggunakan standar pendidikan nasional yang diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.
35.  Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan/atau sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
36.  Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.
37.  Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
38.  Organisasi profesi adalah kumpulan anggota masyarakat yang memiliki keahlian tertentu yang berbadan hukum dan bersifat nonkomersial.
39.  Dewan Pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan.
40.  Komite Sekolah/Madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah atau madrasah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
41.  Warga masyarakat adalah penduduk Kabupaten Bantul, penduduk luar Kabupaten Bantul, dan warga negara asing yang tinggal di Kabupaten Bantul.
42.  Masyarakat adalah kelompok warga masyarakat non pemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
43.  Budaya membaca adalah kebiasaaan warga masyarakat yang menggunakan sebagian waktunya sehari-hari secara tepat guna untuk membaca buku atau bacaan lain yang bermanfaat bagi kehidupan.
44.  Budaya menulis adalah kebiasaaan warga masyarakat yang menggunakan sebagian waktunya sehari-hari secara tepat guna untuk menulis yang bermanfaat bagi kehidupan.
45.  Budaya kreatif adalah kemampuan warga masyarakat untuk melakukan inovasi dan kreasi, melakukan terobosan dan menemukan hal-hal baru, untuk meningkatkan kompetensi dirinya maupun orang lain yang bermanfaat bagi kehidupan.
46.  Budaya belajar adalah kebiasaaan warga masyarakat yang menggunakan sebagian waktunya sehari-hari secara tepat guna untuk belajar guna meningkatkan pengetahuan.
47.  Budaya belajar di luar jam sekolah adalah kebiasaaan warga belajar menggunakan sebagian waktunya sehari-hari pada hari efektif sekolah secara tepat guna untuk belajar di luar jam sekolah.
48.  Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan kegiatan usaha yang bersifat tetap, berkelanjutan, didirikan, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.

BAB II
TUJUAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN
DAN PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Bagian Pertama
Tujuan Pengelolaan Pendidikan
Pasal 2

Pengelolaan pendidikan ditujukan untuk menjamin :
a.    akses masyarakat atas pelayanan pendidikan yang mencukupi, merata, dan terjangkau;
b.    mutu dan daya saing pendidikan serta relevansinya dengan kebutuhan dan/atau kondisi masyarakat; dan
c.    efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas pengelolaan pendidikan.

Bagian Kedua
Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan
Pasal 3

Prinsip penyelenggaraan pendidikan :
a.    pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatifdengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa;
b.    pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik dengan  sisem terbuka dan multi makna;
c.    pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat;
d.    pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran;
e.    pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, berhitung dan budaya kreatif bagi segenap warga masyarakat;
f.     pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan;
g.    pendidikan diselenggarakan berdasarkan prinsip nirlaba; dan
h.    pendidikan diselenggarakan dengan senantiasa memperhatikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
BAB III
PENGELOLAAN PENDIDIKAN OLEH PEMERINTAH DAERAH
Pasal 4

Bupati bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan nasional di Kabupaten Bantul dan merumuskan serta menetapkan kebijakan daerah bidang pendidikan sesuai kewenangannya.


Pasal 5

(1)  Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 merupakan penjabaran dari kebijakan pendidikan nasional, serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Kebijakan bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam :
a.    rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJPD);
b.    rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD);
c.    rencana stategis pendidikan daerah;
d.    rencana kerja pemerintah daerah;
e.    rencana kerja dan anggaran tahunan daerah;
f.     peraturan daerah di bidang pendidikan; dan
g.    peraturan bupati di bidang pendidikan.

(3)  Kebijakan daerah bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan pedoman bagi :
a.    semua jajaran pemerintah daerah;
b.    penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat di Kabupaten Bantul;
c.    satuan atau program pendidikan;
d.    dewan pendidikan;
e.    komite sekolah;
f.     peserta didik;
g.    orang tua/wali peserta didik;
h.    pendidik dan tenaga kependidikan;
i.      masyarakat Kabupaten Bantul; dan
j.      pihak lain yang terkait dengan pendidikan di Kabupaten Bantul.

Pasal 6

(1)  Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar 12 tahun.

(2)  Setiap orang tua/wali peserta didik wajib melaksanakan program wajib belajar 12 tahun.


(3)  Dalam pelaksanaan program wajib belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih dioptimalkan pada pelaksanaan program pendidikan setara SMA/SMK/MA/MAK/atau program Paket C.

(4)  Pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 7

(1)  Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran pendidikan agar sistem pendidikan nasional di daerah dapat dilaksanakan secara efektif,efisien, dan akuntabel sesuai dengan kebijakan daerah bidang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.

(2)  Anggaran pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan minimal 20 %dari jumlah APBD.

(3)  Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran untuk bantuan operasional sekolah baik negeri maupun swasta yang bersumber dari anggaran pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4)  Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran untuk program peningkatan kualitas pendidik, tenaga kependidikan, dan sumber belajar masyarakat maksimal 10% dari anggaran dinas.

(5)  Realisasi anggaran pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilaksanakan secara bertahap.

Pasal 8

(1)  Pemerintah Daerah mengarahkan, membimbing, menyupervisi, mengawasi, mengkoordinasikan, memantau, mengevaluasi, dan mengendalikan penyelenggara satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sesuai dengan kebijakan nasional bidang pendidikan dan kebijakan daerah bidang pendidikan dalam kerangka pengelolaan sistem pendidikan nasional.

(2)  Pemerintah Daerah dapt bekerjasama dengan pihak dunia usaha untuk mengembangkan mekanisme pendidikan link &match, serta meningkatkan kapasitas peserta didik pada jenjang sekolah menengah.

Pasal 9

(1)  Bupati menetapkan target tingkat partisipasi pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan yang harus dicapai pada tingkat Kabupaten.

(2)  Target tingkat partisipasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipenuhi melalui jalur pendidikan formal dan non formal.

(3)  Dalam memenuhi target tingkat partisipasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah mengutamakan perluasan dan pemerataan akses pendidikan melalui jalur pendidikan formal.

Pasal 10

(1)  Bupati menetapkan target tingkat pemerataan partisipasi pendidikan pada tingkat kabupaten yang meliputi :
a.    antar Kecamatan;
b.    antar Kelurahan; dan
c.    antara laki-laki dan perempuan.

(2)  Bupati menetapkan kebijakan untuk menjamin peserta didik memperoleh akses pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang orang tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan, peserta didik pendidikan khusus, dan/atau peserta didik pendidikan layanan khusus.

Pasal 11

Bupati melaksanakan dan mengkoordinasikan pelaksanaan standar pelayanan minimal bidang pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 12

(1)  Pemerintah Daerah melakukan dan/atau memfasilitasi penjaminan mutu pendidikan di Kabupaten Bantul  dengan berpedoman pada kebijakan nasional pendidikan, kebijakan provinsi bidang pendidikan, dan Standar Nasional Pendidikan.

(2)  Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Kota berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Pemerintah yang melaksanakan tugas penjaminan mutu pendidikan.

(3)  Dalam rangka penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah memfasilitasi :
a.    akreditasi program pendidikan;
b.    akreditasi satuan pendidikan;
c.    sertifikasi kompetensi peserta didik;
d.    sertifikasi kompetensi pendidik; dan/atau
e.    sertifikasi kompetensi tenaga kependidikan.


Pasal 13

(1)  Pemerintah Daerah mengakui, memfasilitasi, membina dan melindungi program dan/atau satuan pendidikan bertaraf internasional dan/atau berbasis keunggulan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Pemerintah Daerah melaksanakan dan/atau memfasilitasi perintisan program dan/atau satuan pendidikan yang sudah atau hampir memenuhi Standar Pendidikan Nasional untuk dikembangkan menjadi program dan/atau satuan pendidikan bertaraf internasional dan/atau berbasis keunggulan lokal.

(3)  Pemerintah Daerah memfasilitasi akreditasi internasional program dan/atau satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4)  Pemerintah Daerah memfasilitasi sertifikasi internasional pada  program dan/atau satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).





Pasal 14

(1)  Pemerintah Daerah melakukan pembinaan berkelanjutan kepada peserta didik di daerahnya yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mencapai prestasi puncak di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga pada tingkat satuan pendidikan, kecamatan, kota, provinsi, nasional, dan internasional.

(2)  Untuk menumbuhkan iklim kompetitif yang kondusif bagi pencapaian prestasi puncak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi secara teratur dan berjenjang kompetisi di bidang :
a.    ilmu pengetahuan;
b.    teknologi;
c.    seni; dan/atau
d.    olahraga.

(3)  Pemerintah Daerah memberikan penghargaan kepada peserta didik yang meraih prestasi puncak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembinaan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta penyelenggaraan dan fasilitas kompetisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 15

Bupati menetapkan kebijakan tata kelola pendidikan untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas pengelolaan pendidikan yang merupakan pedoman bagi :
a.    semua jajaran Pemerintah Daerah;
b.    penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat;
c.    satuan atau program pendidikan;
d.    dewan pendidikan;
e.    komite sekolah;
f.     peserta didik;
g.    orang tua/wali peserta didik;
h.    pendidik dan tenaga kependidikan;
i.      masyarakat; dan
j.      pihak lain yang terkait dengan pendidikan.

Pasal 16

(1)  Dalam menyelenggarakan dan mengelola sistem pendidikan nasional di Daerah, Pemerintah Daerah mengembangkan dan melaksanakan sistem informasi pendidikan Daerah berbasis teknologi informasi dan komunikasi.

(2)  Sistem informasi pendidikan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan subsistem dari sistem informasi pendidikan Nasional.




(3)  Sistem informasi pendidikan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) memberikan akses informasi administrasi pendidikan dan akses sumber pembelajaran kepada satuan pendidikan pada semua jenjang, jenis, dan jalur pendidikan sesuai  kewenangan Pemerintah Daerah.

BAB IV
PENGELOLAAN PENDIDIKAN
OLEH PENYELENGGARA SATUAN PENDIDIKAN
YANG DIDIRIKAN MASYARAKAT
Pasal 17

Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan nasional serta merumuskan dan menetapkan kebijakan pendidikan pada tingkat penyelenggara satuan.

Pasal 18

(1)  Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 merupakan penjabaran dari kebijakan pendidikan nasional, provinsi, kabupaten serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam peraturan penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat.

(3)  Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan pedoman bagi :
a.      penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat yang bersangkutan;
b.      satuan atau program pendidikan yang terkait;
c.      lembaga representasi pemangku kepentingan satuan atau program pendidikan yang terkait;
d.      peserta didik di satuan atau program pendidikan yang terkait;
e.      orang tua/wali peserta didik di satuan atau program pendidikan yang terkait;
f.           pendidik dan tenaga kependidikan di satuan atau program pendidikan yang terkait; dan
g.      pihak lain yang terikat dengan satuan atau program pendidikan yang terkait.

(4)  Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat mengalokasikan anggaran pendidikan agar sistem pendidikan nasional pada tingkat satuan atau program pendidikan yang terkait dapat dilaksanakan secara efektif, efisien, dan akuntabel.



Pasal 19

Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat menjamin terselenggaranya program wajib belajar 12 tahun.



Pasal 20

Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat mengarahkan, membimbing, menyupervisi, mengawasi, mengkoordinasi, memantau, mengevaluasi, dan mengendalikan satuan atau program pendidikan yang terkait sasuai dengan kebijakan pendidikan yang ditetapkan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan oleh penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 21

Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat menetapkan kebijakan untuk menjamin peserta didik memperoleh akses pelayanan pendidikan, bagi peserta didik yang orang tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan, peserta didik pendidikan khusus, atau peserta didik di daerah khusus.

Pasal 22

Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat menjamin pelaksanaan standar pelayanan minimal pendidikan pada satuan atau program pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23

(1)  Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat melakukan dan/atau memfasilitasi penjaminan mutu pendidikan di satuan atau program pendidikan dengan berpedoman pada kebijakan pendidikan yang terkait sesuai dengan kebijakan pendidikan yang ditetapkan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah dan oleh penyelenggara, serta Standar Nasional Pendidikan.

(2)  Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat menyelenggarakan satuan dan/atau program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan/atau pendidikan menengah bekerja sama dengan unit pelaksana teknis Pemerintah yang melaksanakan tugas penjaminan mutu pendidikan.

(3)  Dalam rangka penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat memfasilitasi :
a.    akreditasi program pendidikan;
b.    akreditasi satuan pendidikan;
c.    sertifikasi kompetensi peserta didik;
d.    sertifikasi kompetensi pendidik; dan/atau
e.    sertifikasi kompetensi tenaga kependidikan.

Pasal 24

(1)  Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat memfasilitasi, membina, dan melindungi satuan atau program pendidikan yang bertaraf internasional dan/atau berbasis keunggulan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat  melaksanakan dan/atau memfasilitasi perintisan satuan atau program pendidikan yang sudah atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan atau program pendidikan bertaraf internasional dan/atau berbasis keunggulan lokal.

(3)  Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat memfasilitasi akreditasi internasional satuan atau program pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4)  Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat memfasilitasi sertifikasi internasional pada satuan atau program pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 25

(1)  Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat memfasilitasi pembinaan berkelanjutan kepada peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mencapai prestasi puncak di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan/atau olahraga pada tingkat satuan pendidikan, kecamatan, kabupaten, provinsi, nasional, dan internasional.

(2)  Untuk menumbuhkan iklim kompetitif yang kondusif bagi pencapaian prestasi puncak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi secara teratur kompetisi di satuan atau program pendidikan dalam bidang :
a.    ilmu pengetahuan;
b.    teknologi;
c.    seni; dan/atau
d.    olahraga.

(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembinaan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta penyelenggaraan dan fasilitasi kompetisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat.

Pasal 26

Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat menetapkan kebijakan tata kelola pendidikan untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas pengelolaan pendidikan yang merupakan pedoman bagi :
a.    penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat yang bersangkutan;
b.    satuan dan/atau program pendidikan;
c.    lembaga representasi pemangku kepentingan pendidikan pada satuan dan/atau program pendidikan;
d.    peserta didik satuan dan/atau program pendidikan;
e.    orang tua/wali peserta didik di satuan dan/atau program pendidikan;
f.     pendidik dan tenaga kependidikan di satuan dan/atau program pendidikan; dan
g.    pihak lain yang terikat dengan satuan atau program pendidikan.


Pasal 27

(1)  Dalam menyelenggarakan dan mengelola sistem pendidikan nasional di satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat mengembangkan dan melaksanakan sistem informasi pendidikan penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat berbasis teknologi informasi dan komunikasi.

(2)  Sistem informasi pendidikan penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan subsistem dari sistem informasi pendidikan nasional.

(3)  Sistem informasi pendidikan penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) memberikan akses informasi administrasi pendidikan dan akses sumber pembelajaran kepada satuan dan/atau program pendidikan.

BAB V
PENGELOLAAN PENDIDIKAN
OLEH SATUAN ATAU PROGRAM PENDIDIKAN
Pasal 28

(1)  Pengelolaan satuan atau program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.

(2)  Pengelolaan satuan atau program pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.

Pasal 29

Satuan atau program pendidikan wajib bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan nasional di satuan atau program pendidikannya serta merumuskan dan menetapkan kebijakan pendidikan sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 30

(1)  Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 merupakan penjabaran dari kebijakan pendidikan nasional, provinsi, kabupaten dan penyelenggara satuan pendidikan serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh satuan pendidikan anak usia dini, satuan pendidikan dasar, dan satuan pendidikan menengah dituangkan dalam :
a.    rencana kerja tahunan satuan pendidikan;
b.    anggaran pendapatan dan belanja tahunan satuan pendidikan; dan
c.    peraturan satuan atau program pendidikan.

(3)  Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengikat bagi :
a.        satuan atau program pendidikan yang bersangkutan;
b.        lembaga representasi pemangku kepentingan satuan atau program pendidikan yang bersangkutan;
c.        peserta didik di satuan atau program pendidikan yang bersangkutan;
d.        orang tua/wali peserta didik di satuan atau program pendidikan yang bersangkutan;
e.        pendidik dan tenaga kependidikan di satuan atau program pendidikan yang besangkutan; dan
f.         pihak lain yang terikat dengan satuan atau program pendidikan yang bersangkutan.

(4)  Kebijakan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penjabaran dan selaras dengan :
a.     kebijakan pemerintah;
b.     kebijakan pemerintah provinsi;
c.     kebijakan pemerintah daerah;
d.     kebijakan penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat.

(5)  Satuan atau program pendidikan mengalokasikan anggaran pendidikan agar sistem pendidikan nasional di satuan dan/atau program pendidikan yang bersangkutan dapat dilaksanakan dengan efektif, efisien, dan akuntabel.

Pasal 31

Satuan atau program pendidikan mengelola pendidikan sesuai dengan kebijakan pendidikan nasional, provinsi, kabupaten dan penyelenggara satuan pendidikan serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 32

Satuan atau program pendidikan sesuai dengan kewenangannya wajib menetapkan kebijakan untuk menjamin peserta didik memperoleh akses pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang orang tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan, peserta didik pendidikan khusus, dan/atau peserta didik di daerah khusus.

Pasal 33

Satuan atau program pendidikan wajib menjamin terpenuhinya standar pelayanan minimal bidang pendidikan.

Pasal 34

(1)  Satuan atau program pendidikan wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan dengan berpedoman pada kebijakan pendidikan nasional, provinsi, kabupaten, dan penyelenggara satuan pendidikan serta Standar Nasional Pendidikan.

(2)  Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), satuan atau program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, atau pendidikan menengah bekerja sama dengan unit pelaksana teknis Pemerintah yang melaksanakan tugas penjaminan mutu pendidikan.

(3)  Dalam rangka penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), satuan atau program pendidikan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, mengikuti :
a.       akreditasi program pendidikan;
b.       akreditasi satuan pendidikan;
c.       sertifikasi kompetensi peserta didik;
d.       sertifikasi kompetensi pendidik; dan/atau
e.       sertifikasi kompetensi tenaga kependidikan.

Pasal 35

(1)  Satuan atau program pendidikan yang telah atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan dapat merintis dirinya untuk dikembangkan manjadi satuan atau program pendidikan bertaraf internasional dan/atau berbasis keunggulan lokal.

(2)  Satuan atau program pendidikan yang telah atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan dapat mengikuti akreditasi dan/atau sertifikasi internasional satuan atau program pendidikan.

Pasal 36

(1)  Satuan program pendidikan wajib melakukan pembinaan berkelanjutan kepada peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mencapai prestasi puncak di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga pada tingkat satuan pendidikan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, dan internasional.

(2)  Untuk menumbuhkan iklim kompetitif yang kondusif bagi pencapaian prestasi puncak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), satuan dan/atau program pendidikan melakukan secara teratur kompetisi di satuan atau program pendidikan dalam bidang :
e.    ilmu pengetahuan;
f.     teknologi;
g.    seni; dan/atau
h.    olahraga.

(3)  Satuan atau program pendidikan memberikan penghargaan kepada peserta didik yang meraih prestasi puncak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan satuan atau program pendidikan.

Pasal 37

Satuan atau program pendidikan wajib menetapkan kebijakan tata kelola pendidikan untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas pengelolaan pendidikan yang mengikat :
a.    satuan atau program pendidikan yang bersangkutan;
b.    lembaga representasi pemangku kepentingan pendidikan pada satuan atau program pendidikan yang bersangkutan;
c.    peserta didik di satuan atau program pendidikan yang bersangkutan;
d.    orang tua/wali peserta didik di satuan atau program pendidikan yang bersangkutan;
e.    pendidik dan tenaga kependidikan di satuan atau program pendidikan yang besangkutan; dan
f.     pihak lain yang terikat dengan satuan atau program pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 38

(1)  Dalam menyelenggarakan dan mengelola pendidikan, satuan dan/atau program pendidikan mengembangkan dan melaksanakan sistem informasi pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi.

(2)  Sistem informasi pendidikan satuan atau program pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan subsistem dari sistem informasi pendidikan nasional.

(3)  Sistem informasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) memberikan akses informasi administrasi pendidikan dan akses sumber pembelajaran kepada pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik.


BAB VI
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN FORMAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 39

Penyelenggaraan pendidikan formal meliputi :
a.    pendidikan anak usia dini;
b.    pendidikan dasar; dan
c.    pendidikan menengah.

Pasal 40

(1)  Kurikulum dalam penyelenggaraan pendidikan formal mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.

(2)  Kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah muatan lokal pada setiap jenjang pendidikan formal yang memuat materi sejarah Kabupaten Bantul dan kewirausahaan sesuai dengan visi Kabupaten Bantul.

(3)  Bobot kurikulum  muatan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan kesiapan setiap jenjang.

Bagian Kedua
Pendidikan Anak Usia Dini
Paragraf 1
Fungsi dan Tujuan
Pasal 41

(1)  Pendidikan anak usia dini berfungsi membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi anak usia dini secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya.




(2)  Pendidikan anak usia dini bertujuan :
a.        membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkepribadian luhur, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab; dan
b.        mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, kinestetis, dan sosial peserta didik pada masa pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan.

Paragraf 2
Bentuk dan Jenis Satuan Pendidikan
Pasal 42

(1)  Pendidikan usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat.

(2)  TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki program pembelajaran 1 (satu) tahun atau 2 (dua) tahun.

(3)  TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan menyatu dengan SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat.



Paragraf 3
Penerimaan Peserta Didik
Pasal 43

Peserta TK, RA atau bentuk lain yang sederajat berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.

Pasal 44

(1)  Penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan anak usia dini dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel.

(2)  Penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan anak usia dini dilakukan tanpa diskriminasi kecuali bagi satuan pendidikan yang secara khusus dirancang untuk melayani peserta didik dari kelompok gender atau agama tertentu.

(3)  Keputusan penerimaan calon peserta didik menjadi peserta didik dilakukan secara mandiri oleh rapat dewan guru yang dipimpin oleh kepala satuan pendidikan.

Pasal 45

(1)  Satuan pendidikan anak usia dini dapat menerima peserta didik pindahan dari satuan pendidikan anak usia dini lain.

(2)  Syarat-syarat dan tata cara penerimaan peserta didik pindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
Paragraf 4
Program Pembelajaran
Pasal 46

(1)  Program pembelajaran TK, RA, dan bentuk lain yang sederajat dikembangkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat.

(2)  Program pembelajaran TK, RA, dan bentuk lain yang sederajat dilaksanakan dalam konteks bermain yang dapat dikelompokkan menjadi :
a.    bermain dalam rangka pembelajaran agama dan akhlak mulia;
b.    bermain dalam rangka pembelajaran sosial dan kepribadian;
c.    bermain dalam rangka pembelajaran cinta lingkungan hidup;
d.    bermain dalam rangka pembelajaran orientasi dan pengenalan pengetahuan dan teknologi;
e.    bermain dalam rangka pembelajaran estetika; dan
f.     bermain dalam rangka pembelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.

(3)  Semua permainan pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirancang dan diselenggarakan :
a.      secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan mendorong kreativitas serta kemandirian;
b.      sesuai dengan tahap pertumbuhan fisik dan perkembangan mental anak serta kebutuhan dan kepentingan terbaik anak;
c.      dengan memperhatikan perbedaan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing anak;
d.      dengan mengintegrasikan kebutuhan anak terhadap kesehatan, gizi, dan stimulasi psikososial; dan
e.      dengan memperhatikan latar belakang ekonomi, sosial, dan budaya anak.


Bagian Ketiga
Pendidikan Dasar
Paragraf 1
Fungsi dan Tujuan
Pasal 47

(1)  Pendidikan pada SD/MI atau bentuk lain yang sederajat berfungsi :
a.      menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai keimanan, akhlak mulia, dan kepribadian luhur;
b.      menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan, cinta tanah air dan cinta lingkungan hidup;
c.      memberikan dasar-dasar kemampuan intelektual dalam bentuk kemampuan dan kecakapan membaca, menulis, dan berhitung;
d.      memberikan pengenalan ilmu pengetahuan dan teknologi;
e.      melatih dan merangsang kepekaan dan kemampuan mengapresiasi  serta mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan harmoni;
f.           menumbuhkan minat pada olahraga, kesehatan, dan kebugaran jasmani; dan
g.      mengembangkan kesiapan fisik dan mental untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat.



(2)  Pendidikan pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat berfungsi :
a.      mengembangkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai keimanan, akhlak mulia, dan kepribadian luhur yang telah dikenalinya;
b.      mengembangkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan dan cinta tanah air yang telah dikenalinya serta cinta lingkungan hidup;
c.      mempelajari dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi;
d.      melatih dan mengembangkan kepekaan dan kemampuan mengapresiasi  serta mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan harmoni;
e.      mengembangkan bakat dan kemampuan di bidang olahraga, baik untuk kesehatan dan kebugaran jasmani maupun prestasi; dan
f.           mengembangkan kesiapan fisik dan mental untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan menengah dan/atau untuk hidup mandiri di masyarakat.

(3)  Pendidikan dasar bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang :
a.      beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur;
b.      berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif;
c.      sehat, mandiri, dan percaya diri; dan
d.      toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab.

Paragraf 2
Bentuk Satuan Pendidikan
Pasal 48

(1)  SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat terdiri atas 6 (enam) tingkatan kelas, yaitu kelas 1 (satu), kelas 2 (dua), kelas 3 (tiga), kelas 4 (empat), kelas 5 (lima), dan kelas 6 (enam).

(2)  SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat terdiri atas 3 (tiga) tingkatan kelas, yaitu kelas 7 (tujuh), kelas 8 (delapan), dan kelas 9 (sembilan).

Paragraf 3
Penerimaan Peserta Didik
Pasal 49

(1)  Peserta didik pada SD/MI atau bentuk lain yang sederajat paling rendah berusia 6 (enam) tahun.

(2)  Pengecualian terhadap ketentuan pada ayat (1) dapat dilakukan atas dasar rekomendasi tertulis dari psikolog profesional.

(3)  Dalam hal tidak ada psikolog profesional, rekomendasi dapat dilakukan oleh dewan guru satuan pendidikan yang bersangkutan, sampai dengan batas daya tampungnya.

(4)  SD/MI atau bentuk lain yang sederajat wajib menerima warga negara berusia 7 (tujuh) tahun sampai dengan 12 (dua belas) tahun sebagai peserta didik sampai dengan batas daya tampungnya.


(5)  Penerimaan peserta didik kelas 1 (satu) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, atau bentuk tes lain.

(6)  SD/MI atau bentuk lain yang sederajat wajib menyediakan akses bagi peserta didik berkelainan.

Pasal 50

(1)  Dalam hal jumlah calon peserta didik melebihi daya tampung satuan pendidikan, maka pemilihan peserta didik pada SD/MI berdasarkan pada usia calon peserta didik dengan prioritas dari yang paling tua.

(2)  Jika usia calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama, maka penentuan peserta didik didasarkan pada jarak tempat tinggal calon peserta didik yang paling dekat dengan satuan pendidikan.

(3)  Jika usia dan/atau jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sama, maka peserta didik yang mendaftar lebih awal diprioritaskan.

Pasal 51

(1)  Peserta didik pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat sudah menyelesaikan pendidikannya pada SD, MI, Paket A, atau bentuk lain yang sederajat.

(2)  SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat wajib menerima warga negara berusia 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun sebagai peserta didik sampai dengan batas daya tampungnya.

(3)  SMP/MTs atau bentuk lain  yang sederajat wajib menyediakan akses bagi peserta didik berkelainan.

Pasal 52

(1)  SD/MI dan SMP/MTs yang memiliki jumlah calon peserta didik melebihi daya tampung wajib melaporkan kelebihan calon peserta didik tersebut kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

(2)  Pemerintah Daerah wajib menyalurkan kelebihan calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada satuan pendidikan dasar lain.

Pasal 53

(1)  Peserta didik jalur nonformal dan informal dapat diterima di SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat tidak pada awal kelas 1 (satu) setelah lulus tes kelayakan dan penempatan yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan formal yang bersangkutan.

(2)  Peserta didik jalur nonformal dan informal dapat diterima di SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat sejak awal kelas 7 (tujuh) setelah lulus ujian kesetaraan Paket A. 
(3)  Peserta didik jalur nonformal dan informal dapat diterima di SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat tidak pada awal kelas 7 (tujuh) setelah memenuhi persyaratan :
a.    lulus ujian kesetaraan  Paket A; dan
b.    lulus tes kelayakan dan penempatan yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan formal yang bersangkutan.

(4)  Peserta didik pendidikan dasar setara SD di negara lain dapat pindah ke SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat di Indonesia setelah memenuhi persyaratan lulus tes kelayakan dan penempatan yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.

(5)  Peserta didik pendidikan dasar setara SMP di negara lain dapat pindah ke SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat di Indonesia setelah memenuhi persyaratan :
a.   menunjukkan ijazah atau dokumen lain yang membuktikan bahwa yang bersangkutan telah menyelesaikan pendidikan dasar setara SD; dan
b.   lulus tes kelayakan dan penempatan yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.

(6)  Peserta didik pendidikan dasar setara SD yang mengikuti sistem dan/atau standar pendidikan negara lain dapat diterima di SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat pada awal tahun kelas 7 (tujuh) setelah memenuhi persyaratan :
a.   lulus ujian kesetaraan Paket A; atau
b.   dapat menunjukkan ijazah atau dokumen lain yang membuktikan bahwa yang bersangkutan telah menyelesaikan pendidikan dasar yang memberikan kompetensi lulusan setara  SD.

(7)  SD, MI, SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat memberikan bantuan penyesuaian akademik, sosial, dan/atau mental yang diperlukan oleh peserta didik berkelainan dan peserta didik pindahan dari satuan pendidikan formal lain atau jalur pendidikan lain.

Pasal 54

(1)  Penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan dasar dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel.

(2)  Penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan dasar dilakukan tanpa diskriminasi kecuali bagi satuan pendidikan yang secara khusus dirancang untuk melayani peserta didik dari kelompok gender atau agama tertentu.

(3)  Keputusan penerimaan calon peserta didik menjadi peserta didik dilakukan secara mandiri oleh rapat dewan guru yang dipimpin oleh kepala satuan pendidikan.

(4)  Seleksi penerimaan peserta didik baru di kelas 7 (tujuh) pada satuan pendidikan dasar setingkat SMP didasarkan pada hasil ujian akhir sekolah berstandar nasional, kecuali bagi peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) dan ayat (6).


(5)  Di samping memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), satuan pendidikan dapat melakukan tes bakat skolastik untuk seleksi penerimaan peserta didik baru di kelas 7 (tujuh).


Pasal 55

(1)  Satuan pendidikan dasar dapat menerima peserta didik pindahan dari satuan pendidikan dasar lain.

(2)  Satuan pendidikan dapat menetapkan tata cara dan persyaratan tambahan penerimaan peserta didik pindahan selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan Pasal 54 dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Pendidikan Menengah
Paragraf 1
Fungsi dan Tujuan
Pasal 56

(1)  Pendidikan menengah umum berfungsi :
a.   meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai keimanan, akhlak mulia, dan kepribadian luhur;
b.   meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan, cinta tanah air dan cinta lingkungan hidup;
c.    mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi;
d.   meningkatkan kepekaan dan kemampuan mengapresiasi  serta mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan harmoni;
e.   menyalurkan bakat dan kemampuan di bidang olahraga, baik untuk kesehatan dan kebugaran jasmani maupun prestasi; dan
f.     meningkatkan kesiapan fisik dan mental untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi dan/atau untuk hidup mandiri di masyarakat.

(2)  Pendidikan menengah kejuruan berfungsi :
a.   meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai keimanan, akhlak mulia, dan kepribadian luhur;
b.   meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan dan cinta tanah air;
c.    membekali peserta didik dengan kemapuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kecakapan kejuruan pada profesi sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
d.   meningkatkan kepekaan dan kemampuan mengapresiasi  serta mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan harmoni;
e.   menyalurkan bakat dan kemampuan di bidang olahraga, baik untuk kesehatan dan kebugaran jasmani maupun prestasi; dan
f.       meningkatkan kesiapan fisik dan mental untuk hidup mandiri di masyarakat dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi.





Pasal 57

Pendidikan menengah bertujuan membentuk peserta didik menjadi insan yang:
a.    beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur;
b.    berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif;
c.    sehat, mandiri, dan percaya diri; dan
d.    toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab.

Paragraf 2
Bentuk Satuan Pendidikan
Pasal 58

(1)  Pendidikan menengah berbentuk SMA, MA, SMK, dan MAK, atau bentuk lain yang sederajat.

(2)  SMA dan MA terdiri dari 3 (tiga) tingkatan kelas, yaitu kelas 10 (sepuluh), kelas 11 (sebelas), dan kelas 12 (dua belas).

(3)  SMK dan MAK dapat terdiri atas 3 (tiga) tingkatan kelas, yaitu kelas 10 (sepuluh), kelas 11 (sebelas), dan kelas 12 (dua belas), atau terdiri atas 4 (empat) tingkatan kelas yaitu kelas 10 (sepuluh), kelas 11 (sebelas), kelas 12 (dua belas), dan kelas 13 (tiga belas) sesuai dengan tuntutan dunia kerja.

Pasal 59

(1)  Penjurusan pada SMA, MA atau bentuk lain yang sederajat berbentuk program studi yang memfasilitasi kebutuhan pembelajaran serta kompetensi yang diperlukan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi.

(2)  Program studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
a.    program studi ilmu pengetahuan alam;
b.    program studi ilmu pengetahuan sosial;
c.    program studi bahasa;
d.    program studi keagamaan; dan
e.    program studi lain yang diperlukan masyarakat.

(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai penjurusan dan program studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 60

(1)  Penjurusan pada SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat berbentuk bidang studi keahlian.

(2)  Setiap bidang studi keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas 1 (satu) atau lebih program studi keahlian.

(3)  Setiap program studi keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri atas 1 (satu) atau lebih kompetensi keahlian.


(4)  Bidang studi keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
a.    bidang studi keahlian teknologi dan rekayasa;
b.    bidang studi keahlian kesehatan;
c.    bidang studi keahlian seni, kerajinan, dan pariwisata;
d.    bidang studi keahlian teknologi informasi dan komunikasi;
e.    bidang studi keahlian agribisnis dan agroteknologi;
f.     bidang studi keahlian bisnis dan manajemen; dan
g.    bidang studi keahlian lain yang diperlukan masyarakat.

(5)  Ketentuan lebih lanjut mengenai penjurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Paragraf 3
Penerimaan Peserta Didik
Pasal 61

(1)  Peserta didik pada SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat harus menyelesaikan pendidikannya pada SMP, MTs, Paket B, atau bentuk lain yang sederajat.

(2)  Peserta didik jalur nonformal dan informal dapat diterima di SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat sejak awal kelas 10 (sepuluh) setelah lulus ujian kesetaraan Paket B. 

(3)  Peserta didik jalur nonformal dan informal dapat diterima di SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat sesudah awal kelas 10 (sepuluh) setelah :
a.    lulus ujian kesetaraan Paket B; dan
b.    lulus tes kelayakan dan penempatan yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan formal yang bersangkutan.

(4)  Peserta didik pendidikan dasar setara SMP yang mengikuti sistem  dan/atau standar pendidikan negara lain dapat diterima di SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat pada awal tahun kelas 10 (sepuluh) setelah :
a.      lulus ujian kesetaraan Paket B; atau
b.      dapat menunjukkan ijazah atau dokumen lain yang membuktikan bahwa yang bersangkutan telah menyelesaikan pendidikan dasar yang memberikan kompetensi lulusan setara  SMP.

(5)  Peserta didik pendidikan menengah setara SMA atau SMK di negara lain dapat pindah ke SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat di Indonesia dengan syarat :
a.      menunjukkan ijazah atau dokumen lain yang membuktikan bahwa yang bersangkutan telah menyelesaikan pendidikan dasar setara SMP; dan
b.      lulus tes kelayakan dan penempatan yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.

(6)  SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat wajib menyediakan akses bagi peserta didik berkelainan.



(7)  Satuan pendidikan SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat memberikan bantuan penyesuaian akademik, sosial, dan/atau mental yang diperlukan oleh peserta didik berkelainan dan peserta didik pindahan dari satuan pendidikan formal lain atau jalur pendidikan lain.

Pasal 62

(1)  Penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan menengah dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel.

(2)  Penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan menengah dilakukan tanpa diskriminasi kecuali bagi satuan pendidikan yang secara khusus dirancang untuk melayani peserta didik dari kelompok gender atau agama tertentu.

(3)  Keputusan penerimaan calon peserta didik menjadi peserta didik dilakukan secara mandiri oleh rapat dewan guru yang dipimpin oleh kepala satuan pendidikan.

(4)  Seleksi penerimaan peserta didik baru di kelas 10 (sepuluh) pada satuan pendidikan menengah didasarkan pada hasil Ujian Nasional, kecuali bagi peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5).

(5)  Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), satuan pendidikan dapat melakukan tes bakat skolastik untuk seleksi penerimaan peserta didik baru di kelas 10 (sepuluh).

(6)  Penerimaan peserta didik baru dapat dilaksanakan pada setiap semester bagi satuan pendidikan yang menyelenggarakan sistem kredit semester.

Pasal 63

(1)  Peserta didik satuan pendidikan menengah dapat pindah ke :
a.    jurusan yang sama pada satuan pendidikan lain;
b.    jurusan yang berbeda pada satuan pendidikan yang sama; atau
c.    jurusan yang berbeda pada satuan pendidikan lain.

(2)  Satuan pendidikan dapat menetapkan tata cara dan persyaratan tambahan selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dan Pasal 63 dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB VII
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN NONFORMAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 64

(1)  Penyelenggaraan pendidikan nonformal meliput penyelenggaraan satuan pendidikan dan program pendidikan nonformal.

(2)  Penyelenggaraan satuan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi satuan pendidikan :
a.    lembaga kursus dan lembaga pelatihan atau bentuk lain yang sejenis;
b.    kelompok belajar serta bentuk lain yang sejenis;
c.    pusat kegiatan belajar masyarakat atau bentuk lain yang sejenis;
d.    majelis taklim atau bentuk lain yang sejenis; dan
e.    pendidikan anak usia dini jalur nonformal.

(3)  Satuan pendidikan nonformal sebagaimana  dimaksud pada ayat (2)    huruf a, menyelenggarakan pendidikan bagi warga masyarakat untuk :
a.    memperoleh keterampilan kecakapan hidup;
b.    mengembangkan sikap dan kepribadian profesional;
c.    mempersiapkan diri untuk bekerja;
d.    meningkatkan kompetensi vokasional;
e.    mempersiapkan diri untuk berusaha mandiri; dan/atau
f.     melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

(4)  Satuan pendidikan  nonformal  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (2) huruf  b, dan c menyelenggarakan pendidikan bagi warga masyarakat untuk :
a.    memperoleh keterampilan kecakapan hidup;
b.    memperoleh pengetahuan dan keterampilan;
c.    mengembangkan sikap dan kepribadian profesional;
d.    mempersiapkan diri untuk berusaha mandiri; dan/atau
e.    melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

(5)  Penyelenggaraan program pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a.    pendidikan kecakapan hidup;
b.    pendidikan anak usia dini;
c.    pendidikan kepemudaan;
d.    pendidikan pemberdayaan perempuan;
e.    pendidikan keaksaraan;
f.     pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja; dan
g.    pendidikan kesetaraan.

Pasal 65

(1)  Kurikulum dalam penyelenggaraan pendidikan nonformal ditambah muatan lokal pada setiap jenjang pendidikan nonformal yang memuat materi sejarah Bantul dan kewirausahaan sesuai dengan visi Kabupaten Bantul.

(2)  Bobot kurikulum muatan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan kesiapan setiap jenjang.

Pasal 66

Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal.

Bagian Kedua
Fungsi dan Tujuan
Pasal 67

(1)  Pendidikan nonformal berfungsi :
a.      sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal atau sebagai alternatif pendidikan; dan
b.      mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional, serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

(2)  Pendidikan nonformal bertujuan membentuk manusia yang memiliki kecakapan hidup, keterampilan fungsional, sikap dan kepribadian profesional, dan mengembangkan jiwa wirausaha yang mandiri, serta kompetensi untuk bekerja dalam bidang tertentu, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

(3)  Pendidikan nonformal diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat.

Bagian Ketiga
Satuan Pendidikan Non Formal
Paragraf 1
Lembaga Kursus dan Lembaga Pelatihan
Pasal 68

(1)  Lembaga Pelatihan menyelenggarakan program pelatihan kerja dan pelatihan lain untuk meningkatkan kompetensi kerja bagi pencari kerja dan pekerja.

(2)  Lembaga kursus dan lembaga pelatihan yang terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal dan/atau lembaga akreditasi lain dapat menyelenggarkan uji kompetensi kepada peserta didik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)  Lembaga kursus dan lembaga pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberikan sertifikat kompetensi kepada peserta didik yang lulus uji kompetensi.

(4)  Peserta didik yang telah menyelesaikan kegiatan pembelajaran di kelompok belajar dapat mengikuti ujian kesetaraan hasil belajar dengan pendidikan formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5)  Peserta didik yang memenuhi syarat dan/atau lulus dalam ujian kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memperoleh ijazah sesuai dengan program yang diikutinya.

Paragraf 2
Kelompok Belajar
Pasal 69

(1)  Peserta didik yang telah menyelesaikan kegiatan pembelajaran di kelompok belajar dapat mengikuti ujian kesetaraan hasil belajar dengan pendidikan formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



(2)  Peserta didik yang telah menyelesaikan kegiatan pembelajaran di kelompok belajar dan/atau lulus dalam ujian kesetaraan hasil belajar sebagiamana dimaksud pada ayat (1) memperoleh ijazah sesuai dengan program yang diikutinya.

Paragraf 3
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
Pasal 70

(1)  Pusat kegiatan belajar masyarakat yang terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal dapat menyelenggarakan uji kompetensi kepada peserta didik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Pusat kegiatan belajar masyarakat yang terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal memberikan sertifikat kompetensi kepada peserta didik yang lulus uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)  Peserta didik yang telah menyelesaikan kegiatan pembelajaran di pusat kegiatan belajar masyarakat dapat mengikuti ujian untuk mendapatkan pengakuan kesetaraan hasil belajar dengan pendidikan formal sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.

(4)  Peserta didik yang telah memenuhi syarat dan/atau lulus dalam ujian kesetaraan hasil belajar dengan pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memperoleh ijazah sesuai dengan program yang diikutinya.

Paragraf 4
Majelis Taklim
Pasal 71

(1)  Peserta didik yang telah menyelesaikan kegiatan pembelajaran di majelis taklim atau bentuk lain yang sejenis dapat mengikuti ujian kesetaraan hasil belajar dengan pendidikan formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Peserta didik yang telah memenuhi syarat dan/atau lulus dalam ujian kesetaraan hasil belajar dengan pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memperoleh ijazah sesuai dengan program yang diikutinya.

Paragraf 5
Pendidikan Anak Usia Dini
Pasal 72

(1)  Pendidikan anak usia dini pada jalur  pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan pendidikan anak usia dini yang sejenis.

(2)  Kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan pendidikan anak usia dini yang sejenis menyelenggarakan pendidikan dalam konteks :
a.      bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran agama dan akhlak mulia;
b.      bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran sosial dan kepribadian;
c.      bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran estetika
d.      bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan; dan
e.      bermain sambil belajar dalam rangka merangsang minat kepada ilmu pengetahuan, teknologi, dan cinta lingkungan hidup.

(3)  Peserta didik kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan nonformal yang sejenis dapat dievaluasi perkembangannya tanpa melalui proses yang bersifat menguji kompetensi.


Bagian Keempat
Program Pendidikan Nonformal
Paragraf 1
Pendidikan Kecakapan Hidup
Pasal 73

(1)  Pendidikan kecakapan hidup merupakan program pendidikan yang mempersiapkan peserta didik pendidikan nonformal dengan kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan estetis, kecakapan kinetis, kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional yang diperlukan untuk bekerja, berusaha, dan/atau hidup mandiri di tengah masyarakat.

(2)  Pendidikan kecakapan hidup bertujuan meningkatkan kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan estetis, kecakapan kinetis, kecakapan intelektual dan kecakapan vokasional untuk menyiapkan peserta didik agar mampu bekerja, berusaha, dan/atau hidup mandiri di tengah masyarakat.

(3)  Pendidikan kecakapan hidup dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan program pendidikan nonformal lain atau tersendiri.

(4)  Pendidikan kecakapan hidup dapat dilaksanakan oleh lembaga pendidikan nonformal bekerja sama dengan lembaga pendidikan formal.

(5)  Pendidikan kecakapan hidup dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan program penempatan lulusan di dunia kerja, baik di dalam maupun di luar negeri.

Paragraf 2
Pendidikan Anak Usia Dini
Pasal 74

(1)  Pendidikan anak usia didni jalur pendidikan nonformal merupakan program yang diselenggarakan secara fleksibel berdasarkan tahap pertumbuhan dan perkembangan anak.

(2)  Program pendidikan anak usia dini jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , berfungsi menumbuhkembangkan dan membina seluruh potensi anak sejak lahir sampai dengan usia anak 6 (enam) tahun sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya dalam rangka kesiapan anak memasuki pendidikan lebih lanjut.

(3)  Program pendidikan anak usia dini jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lebih memprioritaskan pelayanan pendidikan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 4(empat) tahun.

(4)  Program pendidikan anak usia dini jalar pendidikan nonformal bertujuan :
a.      membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkepribadian luhur, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab; dan
b.      mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, estetis, kinetis, dan sosial peserta didik pada masa pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan.

(5)  Program pendidikan anak usia dini jalur pendidikan nonformal dirancang dan diselenggarakan :
a.      secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan mendorong kreativitas kemandirian;
b.      sesuai dengan tahap pertumbuhan fisik dan perkembangan mental anak serta kebutuhan dan kepentingan terbaik anak ;
c.      dengan memperhatikan perbedaan bakat, minat, dan kemampuan tiap-tiap anak ; dan
d.      dengan mengintegrasikan kebutuhan anak terhadap kesehatan, gizi, dan stimulasi psikososial.

(6)  Pengembangan program pendidikan anak usia dini jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) didasarkan pada :
a.      prinsip bermain sambil belajar dan belajar seraya bermain ;
b.      memperhatikan perbedaan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing peserta didik;
c.      memperhatikan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya peserta didik ; dan
d.      memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.

(7)  Pengelompokkan peserta didik untuk program pendidikan pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan nonformal disesuaikan dengan kebutuhan, usia , dan perkembangan anak.

(8)  Penyelenggaraan program pendidikan anak usia didni jalur pendidikan nonformal dapat diintegrasikan dengan program lain yang sudah berkembang di masyarakat sebagai upaya untuk memperlua pelayanan pendidikan anak usia dini kepada seluruh lapisan masyarakat.

Paragraf 3
Pendidikan Kepemudaan
Pasal 75

(1)  Pendidikan kepemudaan merupakan pendidikan  yang diselenggarakan untuk mempersiapkan kader pemimpin bangsa.

(2)  Program Pendidikan kepemudaan berfungsi mengembangkan potensi pemuda dengan penekanan pada :
a.      penguatan nilai keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia;
b.      penguatan wawasan kebangsaan, cinta tanah air dan cinta lingkungan hidup;
c.      penumbuhkembangan etika, kepribadian, dan estetika ;
d.      peningkatan wawasan dan kemampuan di bidang ilmu pengetahuan, tenologi, seni, dan/atau olahraga;
e.      penumbuhan sikap kewirausahaan, kepemimpinan, keteladanan, dan kepeloporan; dan
f.       peningkatan ketrampilan vokasional.

(3)  Program pendidikan kepemudaan memberikan pelayanan pendidikan kepada warga masyarakat yang berusia antara 16 (enam belas) tahun sampai dengan 30 (tiga puluh) tahun.

(4)  Pendidikan kepemudaan dapat berbentuk pelatihan dan bimbingan atau sejenisnya yang diselenggarakan oleh :
a.    organisasi keagamaan;
b.    organisasi pemuda;
c.    organisasi kepanduan /kepramukaan;
d.    organisasi  palang merah;
e.    organisasi pecinta alam dan lingkungan hidup;
f.     organisasi kewirausahaan;
g.    organisasi masyarakat;
h.    organisasi seni dan olahraga; dan
i.      organisasi lain yang sejenis.


Paragraf 4
Pendidikan Pemberdayaan Perempuan
Pasal 76

(1)  Pendidikan pemberdayaan perempuan merupakan pendidikan untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan.

(2)  Program pendidikan pemberdayaan perempuan berfungsi untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui :
a.      peningkatan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;
b.      penguatan wawasan kebangsaan , cinta tanah air dan cinta lingkungan hidu ;
c.      penumbuhkembangan etika, kepribadian, dan estetika;
d.      peningkatan wawasan dan kemampuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga;
e.      penumbuhan sikap kewirausahaan, kepemimpinan, keteladanan, dan kepeloporan; dan
f.       peningkatan keterampilan vokasional.

(3)  Pendidikan pemberdayaan perempuan bertujuan :
a.      meningkatkan kedudukan, harkat, dan martabat perempuan hingga setara dengan laki-laki ;
b.      meningkatkam akses dan partisipasi perempuan dalam pendidikan, pekerjaan, usaha, peran sosial, peran politik, dan bentuk amal lain dalam kehidupan ;
c.      mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang melekat pada perempuan.




Paragraf 5
Pendidikan Keaksaraan
Pasal 77

(1)  Pendidikan keaksaraan merupakan pendidikan bagi warga masyarakat yang buta aksara Latin agar mereka dapat membaca, menulis, berhitung, berbahasa Indonesia dan berpengatahuan dasar, yang memberikan peluang untuk aktualisasi potensi diri.

(2)  Pendidikan keaksaraan berfungsi memberikan kemampuan dasar membaca, menulis, berhitung, dan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, serta pengetahuan dasar kepada peserta didik yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

(3)  Program pendidikan keaksaraan memberikan pelayanan pendidikan kepada warga masyarakat usia 15 (lima belas) tahun ke atas yang belum dapat membaca, menulis, berhitung dan/atau berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.

(4)  Pendidikan keaksaraan meliputi pendidikan keaksaraan dasar, pendidikan keaksaraan lanjutan, dan pendidikan keaksaraan mandiri.

(5)  Pinjaman mutu akhir pendidikan keaksaran dilakukan melalui uji kompetensi keaksaraan.

(6)  Peserta didik yang telah lulus uji kompetensi keaksaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberi surat keterangan melek aksara.


Paragraf 6
Pendidikan Ketrampilan dan Pelatihan Kerja
Pasal 78

(1)  Pendidikan ketrampilan dan pelatihan kerja ditujukan bagi peserta didik pencari kerja atau yang sudah bekerja.

(2)  Pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk :
a.   meningkatkan motivasi dan etos kerja;
b.   mengembangkan kepribadian yag cocok dengan jenis pekerjaan peserta didik;
c.    meningkatkan wawasan tentang aspek lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pekerjaan;
d.   meningkatkan kemampuan keerampilan fungsional sesuai dengan tuntunan dan kebutuhan pekerjaan;
e.   meningkatkan kemampuan membangun jejaring pergaulan sesuai dengan tuntutan pekerjaan; dan
f.     meningkatkan kemampuan lain sesuai dengan tuntutan pekerjaan.

(3)  Kemampuan keterampilan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi keterampilan vokasional, keterampilan manajerial, keterampilan komunikasi, dan/atau keterampilan sosial.


(4)  Pendidikan ketrampilan dan pelatihan kerja dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan :
a.    program pendidikan kecakapan hidup;
b.    program pendidikan kesetaraan Paket B dan Paket C;
c.    program pendidikan pemberdayaan perempuan; dan/ atau
d.    program pendidikan kepemudaan.


Paragraf 7
Pendidikan Kesetaraan
Pasal 79

(1)  Pendidikan kesetaraan merupakan program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA yang mencakupi program Paket A, Paket B, dan Paket C serta pendidikan kejuruan setara SMK/MAK yang berbentuk Paket C Kejuruan.

(2)  Pendidikan kesetaraan berfungsi sebagai pelayanan pendidikan nonformal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

(3)  Peserta didik program Paket A adalah anggota masyarakat yang memenuhi ketentuan wajib belajar setara SD/MI melalui jalur pendidikan nonformal.

(4)  Peserta didik program Paket B adalah anggota masyarakat yang memenuhi ketentuan wajib belajar setara SMP/MTs melalui jalur pendidikan nonformal.

(5)  Program Paket B sebagaimana dimaksud pada ayat (4) membekali peserta didik dengan keterampilan fungsional, sikap dan kepribadian profesional yang memfasilitasi proses adaptasi dengan lingkungan kerja.

(6)  Persyaratan mengikuti program Paket B adalah lulus SD/MI, program Paket A, atau yang sederajat.

(7)   Peserta didik program Paket C adalah anggota masyarakat yang menempuh pendidikan menengah umum melalui jalur pendidikan nonformal.

(8)  Peserta didik program Paket C Kejuruan adalah anggota masyarakat yang menempuh pendidikan menengah kejuruan melalui jalur pendidikan nonformal.

(9)  Program Paket C sebagaimana dimaksud pada ayat (7) membekali peserta didik dengan kemampuan akademik dan keterampilan fungsional, serta sikap dan kepribadian profesional.

(10)    Program Paket C Kejuruan sebgaimana dimaksud pada ayat (8) membekali peserta didik dengan kemampuan akademik, ketrampilan fungsional, dan kecakapan kejuruan para profesi, serta sikap dan kepribadian profesional.

(11)    Persyaratan mengikuti program Paket C dan Paket C kejujuran adalah lulus SMP/MTs, Paket B, atau yang sederajat.

(12)    Program pendidikan kesetaraan dapat dilaksanakan terintegrasi dengan :
a.    program pendidikan kecakapan hidup;
b.    program pendidikan pemberdayaan perempuan; dan/ atau
c.    program pendidikan kepemudaan.


Paragraf 8
Pnyetaraan Hasil pendidikan
Pasal 80

(1)  Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil pendidikan formal setelah melalui uji kesetaraan yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Uji kesetaraan sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) untuk Program Paket A, Program Paket B, Program Paket C, dan Program Paket C Kejujuran dilaksanakan oeh Badan  Standar Nasional Pendidikan.

(3)  Uji kesetaraan sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) untuk program kecakapan hidup dapat dilaksanakan untuk :
a.      memperoleh pengakuan kesetaraan dengan kompetensi mata pelajaran vokasi pada jenjang pendidikan menengah; atau
b.      memperoleh pengakuan kesetaraan dengan kompetensi mata kuliah vokasi pada jenjang pendidikan tinggi.

(4)  Uji kesetaraan sebagaimana  dimaksud pada ayat (3) huruf a dapat dilaksanakan oleh SMK atau MAK yang paling rendah berakreditasi B dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah.

(5)  Uji kesetaraan sebagaimana  dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat dilaksanakan oleh suatu perguruan tinggi melalui program studi vokasinya paling rendah berakreditasi B dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.

(6)  Peserta didik yang lulus uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diberi sertifikat kompetensi.

(7)  Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.


BAB VIII
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INFORMAL
Pasal 81

Pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.





Pasal 82

(1)  Hasil pendidikan informal dapat dihargai setara dengan hasil pendidikan nonformal dan formal setelah melalui uji kesetaraan yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui :
a.      uji kesetaraan yang berlaku bagi peserta didik pendidikan nonformal sebagaimana diatur dalam Pasal 80; dan
b.      uji kesetaraan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.


BAB IX
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KHUSUS
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 83

Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Pasal 84

Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Bagian Kedua
Pendidikan Khusus
Paragraf 1
Pendidikan Khusus bagi Peserta Didik Berkelainan
Pasal 85

(1)  Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan berfungsi memberikan pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial.

(2)  Penddidikan khusus bagi peserta didik berkelainan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal sesuai kemampuannya.

(3)  Peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik yang :
a.    tunanetra;
b.    tunarungu;
c.    tunawicara;
d.    tunagrahita;
e.    tunadaksa;
f.     tunalaras;
g.    berkesulitan belajar;
h.    lamban belajar;
i.      autis;
j.      memiliki gangguan motorik;
k.    menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain; dan
l.      memiliki kelainan lain.

(4)  Kelainan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat juga berwujud gabungan dari 2 (dua) atau lebih jenis kelainan, yang disebut tunaganda.

Pasal 86

(1)  Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

(2)  Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan.

Pasal 87

(1)  Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya pendidikan khusus pada satuan pendidikan umum dan satuan pendidikan kejuruan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

(2)  Penjaminan terselenggaranya pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menetapkan paling sedikit 1 (satu) satuan pendidikan umum dan 1 (satu) satuan pendidikan kejuruan yang memberikan pendidikan khusus.

(3)  Dalam menjamin terselenggaranya pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah menyediakan sumber daya pendidikan yang berkaitan dengan kebutuhan peserta didik berkelainan.


Pasal 88

Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada jalur formal diselenggarakan melalui satuan pendidikan anak usia dini, satuan pendidikan dasar, dan satuan pendidikan menengah.

Pasal 89

(1)  Satuan pendidikan khusus formal bagi peserta didik berkelainan untuk pendidikan anak usia dini berbentuk taman kanak-kanak luar biasa atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat.

(2)  Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada jenjang pendidikan dasar terdiri atas :
a.    sekolah dasar luar biasa atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat; dan
b.    sekolah menengah pertama luar biasa atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat.

(3)  Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada jenjeng pendidikan menengah adalah sekolah menengah atas luar biasa, sekolah menengah kejuruan luar biasa, atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat.

(4)  Penyelenggaraan satuan pendidikan khusus dapat dilaksanakan secara terintegrasi antar jenjang pendidikan dan/atau antar jenis kelainan.

(5)  Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan oleh satuan pendidikan pada jalur pendidikan nonformal.

Paragraf 2
Pendidikan Khusus bagi Peserta Didik yang Memiliki
Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa
Pasal 90

(1)  Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berfungsi mengembangkan potensi keunggulan peserta didik menjadi prestasi nyata sesuai dengan karakteristik keistimewaanya.

(2)  Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa bertujuan mengaktualisasikan seluruh potensi keistimewaannya tanpa mengabaikan keseimbangan perkembangan kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, sosial, estetik, kinestik,dan kecerdasan lain.

Pasal 91

(1)  Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat diselenggarakan pada satuan pendidikan formal TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat.

(2)  Program pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau akat istimewa dapat berupa :
a.    program percepatan; dan/atau
b.    program pengayaan.

(3)  Program percepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan persyaratan :
a.   peserta didik memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa yang diukur dengan tes psikologi;
b.   peserta didik memiliki potensi akademik tinggi dan/atau bakat istimewa di bidang seni dan/atau olahraga; dan
c.    satuan pendidikan penyelenggara telah atau hampir memenuhi Standar Nasional pendidikan.

(4)  Program percepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dengan menerapkan sistem kredit semester sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(5)  Penyelenggaraan program pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam bentuk :
a.    kelas biasa;
b.    kelas khusus; atau
c.    satuan pendidikan khusus.


Pasal 92

(1)  Pemerintah Kota sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan pendidikan layanan khusus.
(2)  Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan pendidikan layanan khusus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.


BAB X
SATUAN PENDIDIKAN BERTARAF INTERNASIONAL
Pasal 93

Satuan pendidikan bertaraf internasional merupakan satuan pendidikan  yang telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.

Pasal 94

(1)  Pemerintah Daerah menyelenggarakan paling sedikit 1 (satu) SD bertaraf internasional dan/atau memfasilitasi penyelenggaraan paling sedikit 1 (satu) SD bertaraf internasional yang diselenggarakan masyarakat.

(2)  Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi, maka Pemerintah Daerah menyelenggarakan paling sedikit 1(satu) SD yang dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.

(3)  Penyelenggaraan pendidikan pada SD yang dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan secara parsial menurut rombongan belajar atau mata pelajaran.

(4)  Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memenuhi penjaminan mutu SD bertaraf internasional mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5)  Pengembangan SD menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) tahun.

(6)  Pemerintah Daerah membantu dan memfasilitasi penyelenggaraan SD bertaraf internasional atau rintisan bertaraf internasional yang diselenggarakan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).





Pasal 95

(1)  Satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan menjadi bertaraf internasional melakukan penjaminan mutu pendidikan sesuai dengan penjaminan mutu sekolah/madrasah bertaraf internasional yang mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2)  Pemerintah Daerah atau masyarakat dapat mendirikan sekolah/madrasah baru yang bertaraf internasional dengan persyaratan harus memenuhi :
a.    Standar Nasional Pendidikan sejak sekolah/madrasah berdiri; dan
b.    Pedoman penjaminan mutu sekolah/madrasah bertaraf internasional mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 96

(1)  Pemerintah Daerah atau masyarakat dapat menyelenggarakan satuan pendidikan khusus dan satuan atau program pendidikan nonformal bertaraf internasional.

(2)  Ketentuan lebih lanjut mengenai satuan pendidikan khusus dan satuan atau program pendidikan nonformal bertaraf internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 97
Penyelenggara dan satuan pendidikan dilarang menggunakan kata internasional untuk nama satuan pendidikan, program, kelas, dan/atau mata pelajaran kecuali mendapatkan penetapan atau izin dari pejabat yang berwenang mengeluarkan penetepan atau izin penyelenggaraan satuan pendidikan yang bertaraf internasional.


BAB XI
SATUAN PENDIDIKAN BERBASIS KEUNGGULAN LOKAL
Pasal 98

Satuan pendidikan berbasis keunggulan loKal merupakan satuan pendidikan yang telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan keunggulan kompetitif dan/atau komparatif daerahdaerah.

Pasal 99

(1)  Pemerintah Daerah mengelola dan menyelenggarakan paling sedikit 1 (satu) satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang berbasis keunggulan lokal.

(2)  Pemerintah Daerah memfasilitasi penyelenggaraan satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan masyarakat.

Pasal 100

(1)  Keunggulan lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99  dikembangkan berdasarkan keunggulan Daerah di bidang niaga dan jasa berbasis industri kreatif, kewirausahaan dan bidang lain sesuai perkembangan daerah.
(2)  Satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan menjadi berbasis keunggulan lokal harus diperkaya dengan muatan pendidikan kejujuran yang terkait dengan keunggulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 101

(1)  Satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan menjadi satuan pendidikan baerbasis keunggulan lokal melakukan penjaminan mutu pendidikan sesuai dengan penjaminan mutu sekolah atau madrasah berbasis keunggulan lokal mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(2)  Pemerintah Daerah atau masyarakat dapat mendirikan sekolah/madrasah baru yang berbasis keunggulan lokal dengan persyaratan memenuhi :
a.    Standar Nasional Pendidikan sejak sekolah/madrasah berdiri; dan
b.    Pedoman penjaminan mutu sekolah/madrasah berbasis keunggulan lokal yang ditetapkan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sejak sekolah/madrasah berdiri.

Pasal 102

(1)  Pemerintah daerah atau masyarakat dapat menyelenggarakan satuan atau program pendidikan nonformal berbasis keunggulan lokal.

(2)  Ketentuan labih lanjut mengenai satuan atau program pendidikan nonformal berbasis keunggulan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XII
KERJASAMA LEMBAGA PENDIDIKAN ASING
DENGAN SATUAN PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Kerja Sama Penyelenggara Pendidikan
Pasal 103

(1)  Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di Daerah.

(2)  Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan bekerja sama dengan lembaga pendidikan di Indonesia pada tingkat program studi atau satuan pendidikan.

(3)  Penyelenggara pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dengan syarat :
a.    memperoleh izin Menteri;
b.    mengikuti Standar Nasional Pendidikan;
c.    mengikuti ujian nasional bagi peserta didik pendidikan dasar dan menengah warga negara Indonesia;
d.    mengikuti akreditasi oleh badan akreditasi nasional; dan
e.    mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.


(4)  Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada pendidikan anak usia dini dan jenjang pendidikan dasar dan menengah bekerja sama dengan satuan pendidikan di daerah yang berakreditasi A atau yang setara dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah atau dari Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal.

(5)  Kepemilikan lembaga asing dalam program atau satuan pendidikan yang diselenggarakan bersama sebagimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6)  Program atau satuan pendidikan yang diselenggarakan bersama sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) wajib mengikutsertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) pendidik warga negara Indonesia.
(7)  Program atau satuan pendidikan yang diselenggarakan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) wajib mengikutsertakan paling sedikit 80% (delapan puluh persen) tenaga kependidikan warga negara Indonesia.

Pasal 104

(1)  Program atau satuan pendidikan yang diselenggarakan bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (2) merupakan program atau satuan pendidikan bertaraf internasional atau satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal.

(2)  Program atau satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menerapkan sistem remunerasi yang berkeadilan bagi semua pendidik dan tenaga kependidikan.

Bagian Kedua
Kerja Sama Pengelolaan Pendidikan
Pasal 105

(1)  Satuan pendidikan anak usia dini dan satuan pendidikan dasar dan menengah di daerah dapat bekerja sama dalam bidang akademik dengan satuan pendidikan asing dalam pengelolaan pendidikan.

(2)  Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan :
a.    meningkatkan mutu pendidikan;
b.    memperluas jaringan kemitraan; dan/atau
c.    menyelenggarakan satuan pendidikan atau program studi bertaraf internasional atau berbasis keunggulan lokal.

(3)  Kerja sama akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk :
a.     pertukaran pendidik dan/atau tenaga kependidikan;
b.     pertukaran peserta didik;
c.      pemanfaatan sumber daya ;
d.     penyelenggaraan program kembaran;
e.     penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler; dan/atau
f.       kerja sama lain yang dianggap perlu.



Pasal 106

(1)  Satuan pendidikan non formal dapat menjalin kerja sama akademik dan/atau non akademik dengan lembaga pendidikan negara lain.

(2)  Kerja sama satuan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan/atau memperluas jaringan kemitraan untuk kepentingan satuan pendidikan nonformal.

(3)  Kerja sama sebagimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh satuan pendidikan nonformal terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal yang memilki izin pendirian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bentuk kerja sama pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XIII
KEWAJIBAN PESERTA DIDIK
Pasal 107

(1)  Peserta didik berkewajiban :
a.       mengikuti proses pembelajaran sesuai peraturan satuan pendidikan dengan menjunjung tinggi norma dan etika akademik;
b.       menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya dan menghormati pelaksanaan ibadah peserta didik lain;
c.       menghormati pendidik dan tenaga kependidikan;
d.       memelihara kerukunan dan kedamaian untuk mewujudkan harmoni sosial;
e.       mencintai keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, serta menyayangi sesama peserta didik;
f.        mencintai dan melestarikan lingkungan;
g.       ikut menjaga dan memeihara sarana dan prasarana, kebersihan, keamanan, dan ketertiban satuan pendidikan;
h.       ikut menjaga dan memelihara sarana dan prasarana, kebersihan, keamanan, dan ketertiban umum;
i.         menanggung biaya pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, kecuali yang dibebaskan dari kewajiban;
j.         menjaga kewibawaan dan nama baik satuan pendidikan yang bersangkutan; dan
k.       mematuhi semua peraturan yang berlaku.

(2)  Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di bawah bimbingan dan keteladanan pendidik dan tenaga kependidikan, serta pembiasaan terhadap peserta didik.

(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.




BAB XIV
PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 108

Pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan dan program pendidikan merupakan pelaksana dan penunjang penyelenggaraan pendidikan.

Bagian Kedua
Jenis, Tugas, dan Tangung Jawab
Pasal 109

(1)  Pendidik merupakan tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilisator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.

(2)  Pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut :
a.       guru sebagai profesional mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah;
b.       konselor sebagai pendidik profesional memberikan pelayanan konseling kepada peserta didik di satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi;
c.       pamong belajar sebagai pendidik profesional mendidik, membimbing, mengajar, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, dan mengembangkan model program pembelajaran, alat pembelajaran, dan pengelolaan pembelajaran pada jalur pendidikan nonformal;
d.       widyaiswara sebagai pendidik profesional mendidik, mangajar, dan melatih peserta didik pada program pendidikan  dan pelatihan prajabatan dan/atau dalam jabatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah;
e.       tutor sebagai pendidik profesional memberikan bantuan belajar kepada peserta didik dalam proses pembelajaran jarak jauh dan/atau pembelajaran tatap muka pada satuan pendidikan jalur formal dan nonformal;
f.        instruktur sebagai pendidik profesional memberikan pelatihan teknis kepada peserta didik pada kursus dan/atau pelatihan;
g.       fasilisator sebagai pendidik profesional melatih dan menilai pada lembaga pendidikan dan pelatihan;
h.       pamong pendidikan anak usia dini sebagai pendidik profesional mengasuh, membimbing, melatih, menilai perkembangan anak usia dini pada kelompok bermain, penitipan anak dan bentuk lain yang sejenis pada jalur pendidikan nonformal;
i.         guru pembimbing khusus sebagai pendidik profesional membimbing, mengajar, menilai, dan mengevaluasi peserta didik berkelainan pada satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan; dan
j.         nara sumber teknis sebagai pendidik profesional melatih keterampilan tertentu bagi peserta didik pada pendidikan kesetaraan.


Pasal 110

(1)  Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Kualifikasi akademik dan kompetensi guru dan dosen pada satuan pendidikan formal harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)  Kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik selain guru mengacu pada paraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4)  Kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik pada jalur pendidikan nonformal diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 111

(1)  Tenaga  kependidikan  selain pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 mencakup pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti, pengembang, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi sumber belajar, tenaga administrasi, psikolog, pekerja sosial, terapis, tenaga kebersihan dan keamanan, serta tenaga dengan sebutan lain yang bekerja pada satuan pendidikan.

(2)  Tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut :
a.       pengelola satuan pendidikan mengelola satuan pendidikan pada pendidikan formal atau nonformal;
b.       penilik melakukan pemantauan, penilaian, dan pembinaan pada satuan pendidikan nonformal;
c.       pengawas melakukan pemantauan, penilaian, dan pembinaan pada satuan pendidikan formal anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah;
d.       peneliti melakukan penelitian di bidang pendidikan pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, serta pendidikan nonformal;
e.       pengembang atau perekayasa melakukan pengembangan atau perekayasaan di bidang pendidikan pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, serta pendidikan nonformal;
f.        tenaga perpustakaan melaksanakan pengelolaan perpustakaan pada satuan pendidikan;
g.       tenaga laboratorium membantu pendidik mengelola kegiatan praktikum di laboratorium satuan pendidikan;
h.       teknisi sumber belajar mempersiapkan, merawat, memperbaiki sarana dan prasarana pembelajaran pada satuan pendidikan;
i.         tenaga administrasi menyelenggarakan pelayanan administratif pada satuan pendidikan;
j.         psikolog memberikan pelayanan bantuan psikolog-pedagogis kepada peserta didik dan pendidik pada pendidikan khusus dan pendidikan anak usia dini;
k.       pekerja sosial pendidikan memberikan layanan bantuan sosiologis-pedagogis kepada peserta didik dan pendidik pada pendidikan khusus atau pendidikan layanan khusus;
l.         terapis memberikan pelayanan bantuan fisiologis-kinesiologis kepada peserta didik pada pendidikan khusus; dan
m.      tenaga kebersihan dan keamanan memberikan pelayanan kebersihan lingkungan dan keamanan satuan pendidikan.

Bagian Ketiga
Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan,
Dan Pemberhentian
Pasal 112

Pemerintah Daerah merencanakan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan berdasarkan perencanaan kebutuhan yang mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 113

(1)  Pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan dalam rangka perluasan dan pemerataan akses pendidikan serta peningkatan mutu, daya saing, dan relevansi pendidikan.

(3)  Pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat berdasarkan perjanjian kerja dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Keempat
Pembinaan Karier, Promosi, dan Penghargaan
Paragraf 1
Pembinaan Karier
Pasal 114

(1)  Pemerintah Daerah wajib melakukan pembinaan karier pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan pola pembinaan karier mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2)  Penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat wajib melakukan pembinaan karier pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakannya sesuai dengan pola pembinaan karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)  Pembinaan karier pendidik dilaksanakan dalam bentuk peningkatan kualifikasi akademik dan/atau kompetensi sebagai agen pembelajaran dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.

(4)  Pembinaan karier tenaga kependidikan dilaksanakan dalam bentuk peningkatan kualifikasi akademik dan/atau kompetensi manajerial dan/atau teknis sebagai tenaga kependidikan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.


Paragraf 2
Promosi dan Penghargaan
Pasal 115

Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan.


Pasal 116

(1)  Promosi bagi pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 115 diberikan dalam bentuk kenaikan pangkat/golongan, kenaikan jabatan, dan/atau bentuk promosi lain yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Promosi bagi pendidik dan tenaga kependidikan bukan pegawai negeri sipil pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dilaksanakan sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga penyelenggara pendidikan serta ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 117

(1)  Penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan sebgaimana dimaksud dalam Pasal 115 diberikan oleh :
a.    Bupati pada tingkat Kabupaten;
b.    Camat pada tingkat Kecamatan;
c.    Lurah pada tingkat Kelurahan; dan
d.    Pemimpin satuan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.

(2)  Penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dapat diberikan oleh masyarakat dan organisasi profesi pada tingkat internasional, nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan, dan/atau tingkat satuan pendidikan.

(3)  Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam bentuk :
a.    tanda jasa;
b.    promosi;
c.    piagam;
d.    uang; dan/atau
e.    bentuk penghargaan lainnya.






Pasal 118

(1)  Pemerintah Daerah memberikan penghargaan kepada pendidik dan/atau tenaga kependidikan berdedikasi yang bertugas di daerah perbatasan dengan daerah lain, daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial,atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain.
(2)  Pendidik atau tenaga kependidikan yang gugur dalam melaksanakan tugas memperoleh penghargaan dari Pemerintah Daerah, dan/atau penyelenggara satuan pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kelima
Larangan
Pasal 119

Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang :
a.    menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakain seragam di satuan pendidikan;
b.    memungut biaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan;
c.    melakukan segala sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung yang menciderai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik; dan/atau
d.    melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB XV
PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN
Pasal 120

(1)  Pendirian program atau satuan pendidikan anak usia dini formal, pendidikan dasar, pendidikan menengah, wajib memperoleh izin dari Pemerintah Daerah.

(2)  Izin pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk TK, SD, SMP, SMA, dan SMK, yang memenuhi standar pelayanan minimum sampai dengan Standar Nasional Pendidikan, diberikan oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk.

(3)  Izin pengembangan SD, SMP, SMA, dan SMK, yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan menjadi satuan dan/atau program pendidikan berbasis keunggulan lokal, diberikan oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk.

(4)  Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pemberian izin satuan pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 121

(1)  Syarat-syarat pendirian satuan pendidikan formal meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.

(2)  Syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan dalam Standar Nasional Pendidikan.

(3)  Selain syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian satuan pendidikan harus melampirkan :
a.       hasil studi kelayakan tentang prospek pendirian satuan pendidikan formal dari segi tata ruang, geografis, dan ekologis;
b.       hasil studi kelayakan tentang prospek pendirian satuan pendidikan formal dari segi prospek pendaftar, keuangan, sosial, dan budaya;
c.       data mengenai perimbangan antara jumlah satuan pendidikan formal dengan penduduk usia sekolah di wilayah tersebut;
d.       data mengenai perkiraan jarak satuan pendidikan yang diusulkan di antara gugus satuan pendidikan formal sejenis;
e.       data mengenai kapasitas daya tampung dan lingkup jangkauan satuan pendidikan formal sejenis yang ada; dan
f.        data mengenai perkiraan pembiayaan untuk kelangsungan pendidiian paling sedikit untuk 1 (satu) tahun akademik berikutnya.

Pasal 122

(1)  Pendirian satuan pendidikan nonformal wajib memperoleh izin dari pemerintah Daerah.

(2)  Ketetntuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat pendirian dan tata cara pemberian izin satuan pendidikan nonformal mengacu pada paeraturan perundang-undangan yang berlaku.


BAB XVI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 123

Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan melalui berbagai komponen masyarakat, pendidikan berbasis masyarakat, dewan pendidikan, dan komite sekolah/madrasah.

Pasal 124

(1)  Masyarakat berperan serta dalam pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun.

(2)  Masyarakat berperan serta dalam menciptakan situasi yang kondusif bagi pengokohan budaya belajar khususnya untuk para pelajar di lingkungan masing-masing, dengan cara :
a.   mematikan alat hiburan/permainan maupun sarana komunikasi yang dapat mengganggu efektifitas belajar pada pukul 18.00 hingga 20.00, kecuali pada hari libur ; dan
b.   penyediaan sumber-sumber belajar masyarakat.

(3)  Masyarakat berperan serta dalam menciptakan situasi kondusif pada saat jam sekolah berlangsung dengan cara mendorong setiap pelajar untuk berada di sekolah pada jam sekolah.
Pasal 125

(1)  Setiap Perusahaan yang berlokasi di Daerah berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan.

(2)  Peran serta Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan cara memberikan prioritas utama dari dana Corporate Social Responsibility  yang menjadi kewajibannya untuk penyelenggaraan pendidikan di daerah.

(3)  Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya disebut dengan Dana Bantul Cerdas.

(4)  Dana Bantul cerdas dapat juga berasal dari berbagai kalangan yang berminat memejukan pendidikan di daerah, berupa dana sosial yang tidak mengikat dan tidak memiliki konsekuensi apapun.


(5)  Dana Bantul Cerdas yang berasal dari perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dialokasikan sebagai berikut :
a.      sebesar 20% disalurkan kepada penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, baik jalur formal maupun non formal;
b.      sebesar 50% disalurkan kepada peserta didik yang terancam putus sekolah;
c.      sebesar 30% untuk pengadaan sarana dan prasarana pendidikan di satuan pendidikan terdekat pada lokasi perusahaan.

(6)  Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)  huruf c milik Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(7)  Perusahaan dan kalangan lainnya menyampaikan informasi penggunaan Dana Bantul Cerdas pada organisasi perangkat daerah terkait.

Bagian Kedua
Fungsi
Pasal 126

Peran serta  masyarakat dalam pendidikan berfungsi memperbaiki akses, mutu, daya saing, relevansi, tata kelola, dan akuntabilitas pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.

Bagian Ketiga
Komponen Peran Serta Masyarakat
Pasal 127

(1)  Peran serta masyarakat meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.

(2)  Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan dalam bentuk :
a.      penyediaan sumber daya pendidikan;
b.      penyelenggaraan satuan pendidikan;
c.      penggunaan hasil pendidikan;
d.      pengawasan penyelenggaraan pendidikan;
e.      pengawasan pengelolaan pendidikan;
f.       pemberian pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada pemangku kepentingan pendidikan pada umumnya;
g.      dan/atau
h.     pemberian bantuan atau fasilitas kepada satuan pendidikan dan/atau penyelenggara satuan pendidikan dalam menjalankan fungsinya.

(3)  Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan huruf e tidak termasuk pemeriksaan yang menjadi kewenangan otoritas pengawasan fungsional.

(4)  Peran serta masyarakat secara khusus dalam pendidikan dapat disalurkan melalui :
a.      dewan pendidikan daerah;
b.      komite sekolah/madrasah; dan/atau
c.      organisasi representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan.

(5)  Organisasi profesi dapat berperan serta dalam pendidikan melalui :
a.      pengendalian mutu pendidikan profesi;
b.      pemberian pertimbangan kurikulum program studi sarjana atau diploma empat yang lulusannya berpotensi melanjutkan pada pendidikan profesi;
c.      pemberian pertimbangan kurikulum program studi kejuruan atau vokasi yang relevan;
d.      uji kompetensi dan sertifikasi kompetensi yang dilaksanakan oleh satuan pendidikan;
e.      akreditasi program studi atau satuan pendidikan; dan/atau
f.           peran lain yang relevan dengan keprofesiannya.

Bagian Keempat
Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pasal 128

(1)  Pendidikan berbasis masyarakat dapat dilaksanakan pada satuan pendidikan formal dan/atau nonformal pada semua jenjang dan jenis pendidikan.

(2)  Masyarakat dapat menyelenggarakan satuan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan/atau nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.

Pasal 129

(1)  Kurikulum satuan pendidikan berbasis masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 memenuhi Standar Nasional Pendidikan.

(2)  Satuan pendidikan berbasis masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 dapat mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan agama atau lingkungan sosial dan budaya masing-masing.





Pasal 130

(1)  Pengelolaan dan penyelenggaraan satuan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Penyelenggara satuan pendidikan berbasis masyarakat dapat mengembangkan pola penyelenggaraan satuan pendidikan sesuai dengan kekhasan agama atau sosial budaya masing-masing.

(3)  Penyelenggara satuan pendidikan berbasis masyarakat dapat mengembangkan pola pengelolaan satuan pendidikan sesuai dengan kekhasan agama atau sosial budaya masing-masing.


Bagian Kelima
Dewan Pendidikan Kota
Pasal 131

(1)  Dewan pendidikan daerah berfungsi dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat daerah.

(2)  Dewan pendidikan daerah menjalankan fungsinya secara mandiri dan profesional.

(3)  Dewan pendidikan daerah bertugas menghimpun, menganalisis, dan memberikan rekomendasi kepada bupati terhadap keluhan, saran, kritik, dan aspirasi masyarakat terhadap pendidikan.

(4)  Dewan pendidikan daerah melaporkan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada masyarakat melalui media cetak, elektronik, laman, pertemuan, dan/atau bentuk lain sejenis sebagai pertanggungjawaban publik.

(5)  Anggota dewan pendidikan daerah terdiri atas tokoh yang berasal dari :
a.    pakar pendidikan;
b.    penyelenggara pendidikan;
c.    pengusaha;
d.    organisasi profesi;
e.    pendidikan berbasis kekhasan agama atau sosial-budaya;
f.     pendidikan bertaraf internasional;
g.    pendidikan berbasis keunggulan lokal; dan/atau
h.    organisasi sosial kemasyarakatan.

(6)  Rekrutmen calon anggota dewan pendidikan daerah dilaksanakan melalui pengumuman di media cetak, elektronik, dan laman.

(7)  Masa jabatan keanggotaan dewan pendidikan adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

(8)  Anggota dewan pendidikan daerah dapat diberhentikan apabila :
a.      mengundurkan diri;
b.      meninggal dunia;
c.      tidak dapat melaksanakan tugas karena berhalangan tetap; atau
d.      dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(9)  Susunan kepengurusan dewan pendidikan daerah sekurang-kurangnya terdiri atas ketua dewan dan sekretaris.
(10)  Anggota dewan pendidikan daerah berjumlah gasal .(12) Ketua dan sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dipilih dari dan oleh para anggota secara musyawarah mufakat atau melalui pemungutan suara.
(11)  Pendanaan dewan pendidikan daerah dapat bersumber dari :
a.      Pemerintah Daerah;
b.      masyarakat;
c.      bantuan pihak asing yang tidak mengikat; dan/atau
d.      sumber lain yang sah.

Pasal 132

(1)  Dewan Pendidikan Daerah berkedudukan di ibukota Kabupaten.

(2)  Anggota Dewan Pendidikan Daerah ditetapkan oleh Bupati.

(3)  Anggota Dewan Pendidikan Daerah berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang.

(4)  Bupati memiilih dan menetapkan anggota Dewan Pendidikan Daerah atas dasar usulan dari panitia pemilihan anggota Dewan Pendidikan Kota yang dibentuk oleh Bupati.

(5)  Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengusulkan kepada Bupati paling banyak 22 (dua puluh dua) orang calon anggota Dewan Pendidikan Daerah setelah mendapatkan usulan dari :
a.    organisasi profesi pendidik;
b.    organisasi profesi lain; atau
c.    organisasi kemasyarakatan.


Bagian Keenam
Komite Sekolah/Madrasah
Pasal 133

(1)  Komite sekolah berfungsi dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.

(2)  Komite sekolah menjalankan fungsinya secara mandiri dan profesional.

(3)  Komite sekolah memperhatikan dan menindaklanjuti terhadap keluhan, saran, kritik, dan aspirasi masyarakat terhadap satuan pendidikan.

(4)  Komite sekolah dibentuk untuk 1(satu) satuan pendidikan atau gabungan satuan pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

(5)  Satuan pendidikan yang memiliki peserta didik kurang dari 200 (dua ratus) orang dapat membentuk komite sekolah gabungan dengan satuan pendidikan lain yang sejenis.

(6)  Komite sekolah berkedudukan di satuan pendidikan.

(7)  Pendanaan komite sekolah dapat bersumber dari :
a.      Pemerintah Daerah;
b.      masyarakat;
c.      bantuan pihak asing yang tidak mengikat; dan/atau
d.      sumber lain yang sah.

Pasal 134

(1)  Anggota komite sekolah berjumlah paling banyak 15 (lima belas) orang, terdiri atas unsur :
a.      orang tua/wali peserta didik paling banyak 50% (lima puluh persen);
b.      tokoh masyarakat paling banyak 30% (tiga puluh persen); dan
c.      pakar pendidikan yang relevan paling banyak 30% (tiga puluh persen).

(2)  Masa jabatan keanggotaan komite sekolah/madrasah adalah 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

(3)  Anggota komite sekolah dapat diberhentikan apabila :
a.      mengundurkan diri;
b.      meninggal dunia; atau
c.      tidak dapat melaksanakan tugas karena berhalangan tetap;
d.      dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(4)  Susunan kepengurusan komite sekolah terdiri atas ketua komite dan sekretaris.

(5)  Anggota komite sekolah dipilih oleh rapat orangtua/wali peserta didik satuan pendidikan.

(6)  Ketua komite dan sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dipilih dari dan oleh anggota secara musyawarah mufakat atau melalui pemungutan suara.

(7)  Anggota, sekretaris, dan ketua komite sekolah ditetapkan oleh kepala sekolah.

Bagian Ketujuh
Larangan
Pasal 135
Dewan pendidikan dan/atau komite sekolah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang :
a.    menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan;
b.    memungut biaya bimbingan belajar atau les dari peserta didik atau orang tua/walinya di satuan pendidikan;
c.     mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik secara langsung atau tidak langsung;
d.    mencederai integritas seleksi penerimaan peserta didik baru secara langsung atau tidak langsung; dan/atau
e.    melaksanakan kegiatan lain yang mencederai integritas satuan pendidikan secara langsung atau tidak langsung.


BAB XVII
PENGAWASAN
Pasal 136

(1)  Pengawasan pengelolaan dan penelenggaraan pendidikan di daerah dilakukan oleh Pemerintah Daerah, dewan pendidikan daerahdan komite sekolah.

(2)  Pengawasan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 137

(1)  Pengawasan pengelolaan dan penyenggaraan pendidikan mencakup pengawasan administratif dan teknis edukatif yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Pemerintah Daerah melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal di daerah.

Pasal  138

(1)  Pemerintah Daerah menindaklanjuti pengaduan masyarakat tentang penyimpangan di bidang pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk klarifikasi, verifikasi, atau investigasi apabila :
a.    pengaduan disertai dengan identitas pengadu yang jelas; dan
b.    pengadu memberi bukti adanya penyimpangan.

Pasal 139

(1)  Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dapat dilakukan dalam bentuk pemeriksaan umum, pemeriksaan kinerja, pemeriksaan khusus, pemeriksaan tematik, pemeriksaan investigasi, dan/atau pemeriksaan terpadu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada instansi atau lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)  Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan oleh lembaga pengawasan fungsional yang memiliki kewenangan dan kompetensi pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 140
Dalam melaksanakan klarifikasi , verifikasi, atau investigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (2) Pemerintah Daerah dapat menunjuk lembaga pemeriksaan independen.

Pasal 141

(1)  Dewan pendidikan daerah melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di daerah.

(2)  Hasil pengawasan oleh Dewan Pendidikan Daerah dilaporkan kepada Bupati.

Pasal 142

(1)  Komite sekolah melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.

(2)  Hasil pengawasan oleh komite sekolah dilaporkan kepada rapat orang tua/wali peserta didik yang diselenggarakan dan dihadiri kepala sekolah dan dewan guru.

BAB XVIII
SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
Pasal 143

(1)  Pemerintah Daerah menutup satuan pendidikan dan/atau program pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 dan Pasal 122 ayat (1).

(2)  Penutupan satuan pendidikan dan/atau program pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah melalui tahapan sebagai berikut :
a.    pembinaan oleh Dinas;
b.    peringatan secara tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut.

Pasal 144

Pemerintah Daerah dapat memberikan sanksi administratif berupa peringatan, penggabungan, penundaan atau pembatalan pemberian sumber daya pendidikan kepada satuan pendidikan, pembekuan, penutupan satuan pendidikan dan/atau program pendidikan yang melaksanakan pendidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 49 ayat (4), Pasal 51 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 52, Pasal 61 ayat (6), Pasal 104 ayat (2), dan Pasal 121.

Pasal 145

Peserta didik yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan, skorsing, dan/atau dikeluarkan dari satuan pendidikan oleh satuan pendidikan.



Pasal 146
Perseorangan, kelompok, atau organisasi, yang menyelengggarakan pendidikan nonformal baik disengaja maupun tidak disengaja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 80 dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, penggabungan, pembekuan, dan/atau penutupan oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 147

(1)  Pendidik yang melalaikan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Tenaga kependidikan yang melalaikan tugas dan/atau kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)  Pendidik atau tenaga kependidikan pegawai negeri sipil yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4)  Pendidik atau tenaga kependidikan bukan pegawai negeri sipil yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (3) dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5)  Penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan masyarakat yang melalaikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, dan Pasal 26 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis pertama, kedua, dan ketiga, apabila tidak diindahkan dilakukan pembekuan oleh Pemerintah Daerah.

(6)  Seseorang yang mengangkat, menempatkan, memindahkan, atau memberhentikan pendidik atau tenaga kependidikan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 tanpa alasan yang sah, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, penundaan kenaikan gaji berkala, penundaan kenaikan pangkat, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat, dan/atau pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya.

Pasal 148

(1)  Satuan pendidikan yang melanggar ketentuan tentang penyelenggaraan pendidikan :
a.      bertaraf internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan Pasal 97; atau
b.      berbasis keunggulan lokal sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 100 ayat (2) dan Pasal 101 ayat (1); dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis pertama, kedua, dan ketiga, penundaan atau penghentian subsidi hingga pencabutan izin oleh Pemerintah Daerah.

(2)  Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diadakan pembinaan paling lama 3 (tiga) tahun oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 149

(1)  Satuan pendidikan negara lain yang menyelenggarakan pendidikan bekerja sama dengan satuan pendidikan di Indonesia yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) dan Pasal 105 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan, dan/atau  penutupan satuan pendidikan oleh Bupati.

(2)  Satuan pendidikan Indonesia yang melaksanakan kerja sama pengelolaan dengan satuan pendidikan negara lain yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) dikenai sanksi administratif  berupa teguran tertulis, pembekuan, dan/atau penutupan satuan pendidikan oleh Bupati.

Pasal 150

Satuan pendidikan yang melanggar ketentuan tentang pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35 ayat (1), Pasal 37 ayat (1), dan Pasal 38 dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, penggabungan, pembekuan, dan/atau penutupan satuan pendidikan oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 151

(1)  Anggota dewan pendidikan atau komite sekolah/madrasah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Pemerintah Daerah.

(2)  Anggota dewan pendididkan atau komite sekolah/madrasah yang dalam menjalankan tugasnya melampaui fungsi dan tugas dewan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) dan ayat (4) serta fungsi komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Pemerintah Daerah.

Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 152

Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 120 ayat (1), Pasal 122 ayat (1) dikenai sanksi pidana yang mengacu pada undang-undang tentang sistem pendidikan nasional.

BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 153

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya, akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.



Pasal 154

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada atnggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundang Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam lembaran daerah Kabupaten Bantul.