Entri yang Diunggulkan

Menghitung Upah Lembur

               Kadang masih ada yang bingung mengenai kewajiban pemberi kerja tentang upah lembur. Demikian juga karyawan tidak mengetahui t...

Rabu, 30 Maret 2011

Pengembangan Sektor Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Bantul

Pengembangan sektor Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Bantul
Diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan sebuah harapan besar bagi daerah untuk melaksanakan penataan pembangunan daerah. Penerapan otonomi daerah diharapkan membawa semangat perubahan dalam mewujudkan tujuan pembangunan yaitu meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai sukses dalam pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat pembanguan tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintapi harus ditopang oleh 2 (dua) unsur penting yang lain yaitu masyarakat, dan swasta. Oleh karena itu hal yang mutlak harus dilaksanakan adalah pemberdayaan masyarakat dalam setiap pembangunan. Kabupaten Bantul dengan luas wilayah 506,85 km2 yang sebagian besar merupakan dataran rendah dan 57 % masyarakat menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dimana sebagian penduduknya memiliki ternak dan kolam ikan sebagai pembudidaya ikan serta berprofesi sebagai nelayan untuk kegiatan sampingan dan tabungan keluarga, sesungguhnya merupakan potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai peternak, pembudidaya ikan dan nelayan dengan tujuan utama untuk penghasilan pokok. Adanya pantai yang relatife panjang (sekitar 13,5 km) dan laut merupakan potensi yang besar pula untuk dikembangkan.
Komisi B DPRD Bantul yang memiliki salah satu mitra kerja Dinas Perikanan Kelautan dan Peternakan mempunyai semangat dan harapan yang besar untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki Kabupaten Bantul terutama pada sektor Perikanan dan Kelautan. Walaupun kita sejak kecil sudah dikenalkan dengan lagu “Nenek moyangku orang pelaut...” tetapi memang potensi kelautan yang cukup besar di Selatan Kabupaten Bantul belum bisa tergarap secara optimal. Beberapa hal yang masih menjadi kendala antara lain besarnya ombak pantai selatan, belum adanya fasilitas minimal pemecah ombak (apalagi sarana berupa pelabuhan), masih minimnya keterampilan bidang kelautan yang dimiliki masyarakat kabupaten Bantul pada umumnya, kemudian sarana dan prasarana tangkap yang juga masih minimal. Kendala-kendala tersebut yang masih menjadi sebagian problem pengembangan sektor kelautan sampai dengan hari ini.
Namun demikian sesungguhnya pengembangan sektor kelautan memang juga menjadi perhatian dari pemerintah pusat, hal ini terbukti dengan adanya beberapa kali anggaran yang untuk pos pengadaan kapal yang memiliki bobot sekitar 10 GT. Sampai dengan tahun 2008 Kabupaten Bantul memiliki 4 buah kapal yaitu : 3 buah kapal berbobot 10 GT pengadaan tahun 2006 dan 1 kapal berbobot 7 GT pengadaan tahun 2007 semuanya dengan dana DAK. Keempat kapal tersebut sekarang dikerjasamakan dengan beberapa kelompok nelayan yang ada di Kabupaten Bantul dalam rangka pemberdayaan, kelompok tersebut antara lain : Fajar Arum 1, Fajar Arum 2 yang beralamat di Kuwaru Poncosari, kelompok nelayan Pandan Simo, Poncosari, Srandakan dan kelompok nelayan Mina Samudera yang beramat di Samas Srigading, Sanden. Pengalihan pengelolaan kapal-kapal tersebut memang menjadi komitmen bersama antara Dinas Perikanan, Kelautan dan Peternakan dengan Komisi B DPRD Kabupaten Bantul mengingat sebelumnya kapal-kapal tersebut semula dikelola oleh nelayan pantai Sadeng yang rata-rata adalah orang Madura dan Jawa Timur. Pengalihan pengelolaan ini dilakukan secara bertahap dengan memberikan beberapa kali pelatihan kepada nelayan asal Kabupaten Bantul sampai bisa mengemudikan kapal dan berpengalaman melaut dengan kapal yang relatif lebih besar dari perahu-perahu kecil yang telah dimiliki oleh nelayan di 4 (empat) kelompok tersebut. Pengalihan pengelolaan ini selain dalam rangka pemberdayaan kelompok nelayan yang ada di Kabupaten Bantul, tetapi juga dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan di Bantul.
Salah satu tugas pokok dan fungsi DPRD adalah fungsi pengawasan, Komisi B DPRD Kabupaten Bantul melaksanakan fungsi pengawasan terhadap berbagai program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Dinas Perikanan, Kelautan dan Peternakan. Salah satunya adalah berusaha mengawal program di sektor perikanan tangkap dengan melakukan koordinasi dengan dinas PKP dan juga melakukan kunjungan langsung ke lokasi kelompok nelayan termasuk ke melihat secara langsung keberadaan kapal milik Kabupaten Bantul yang ada di pantai Sadeng Gunungkidul. Ketika pada 6 Mei 2008 terjadi musibah, kapal pengadaan tahun 2007 karam di kolam pelabuhan Sadeng, walupun agak terlambat Komisi B DPRD Bantul melakukan sidak dan koordinasi dengan Dinas PKP untuk melakukan monitoring perkembangan keberadaan kapal, menanyakan langkah-langkah yang sudah dilaksanakan oleh dinas PKP serta planning untuk pengelolaan kapal tahun 2008 dan selanjutnya. Sidak Komisi B di Pantai Sadeng dilakukan tanggal 5 Juni 2008 kemudian dilanjutkan dengan rapat kerja dengan dinas PKP pada tanggal 6 Juni 2008. Beberapa hal yang menjadi kesepakatan Komisi B dengan Dinas PKP antara lain :
1. Kapal yang karam telah diangkat dan telah dilakukan perbaikan seperlunya menelan anggaran sekitar Rp. 5.000.000,00
2. Komisi B DPRD Bantul menyarankan agar ditunjuk petugas dari Dinas PKP yang ditempatkan di Pantai Sadeng sehingga bisa melakukan pendampingan, pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan kapal-kapal yang beroperasi di Pantai Sadeng. Dengan adanya petugas diharapkan kinerja kelompok pengelola kapal akan meningkat.
3. Perlu dihitung kembali mengenai bagi hasil yang disetorkan ke Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul, sehingga dari dana tersebut dalam waktu sekian tahun Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul dapat membeli lagi kapal yang bisa dikerjasamakan lagi kepada kelompok nelayan selain keempat kelompok nelayan tersebut sehingga kesejahteraan kelompok nelayan akan merata.
4. Pemasangan rumpon yang selama ini dibebankan ke APBD mulai tahun anggaran 2008 dan seterusnya seharusnya menjadi kewajiban dan tanggungjawab para nelayan sendiri, dengan swabiaya mengenai pengadaan rumpon ini diharapkan rasa memilikinya menjadi lebih besar sehingga akan pengawasan dan pemeliharaannya akan baik.
5. Komisi B DPRD Bantul meminta kepada Dinas PKP untuk bisa memberikan laporan perkembangan pengelolaan perkapalan setiap bulan.

Pengurangan Risiko Bencana Melalui Kurikulum Berwawasan Siaga Bencana

Pengurangan Risiko Bencana Melalui Kurikulum Berwawasan Siaga Bencana
A. Pengertian
1. Risiko Bencana
Risiko Bencana memiliki pengertian: potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Melihat pengertian tersebut, maka kita sebenarnya sedang hidup bersama risiko bencana. Bencana yang setiap saat bisa mengancam, mungkin tidak bisa dicegah, tapi kita bisa melakukan upaya pengurangan risiko bencana. Oleh sebab itu, kita perlu memperkaya wawasan terkait bagaimana konsep dasar dan pengertian pengurangan risiko bencana. Mengenali risiko bencana bisa dimulai dari mengenali lingkungan di mana kita hidup. Beberapa contoh:
1. Jika kita hidup di wilayah pegunungan atau perbukitan terjal, maka resiko bencana bisa dikenali yaitu, apapun yang bisa menyebabkan tanah longsor.
2. Jika kita hidup dan menetap di sekitar gunung berapi, maka resiko bencana bisa dikenali seperti efek letusan gunung berapi.
3. Jika kita hidup di bantaran sungai atau daerah aliran sungai, maka risiko bencana bisa dikenali seperti banjir, banjir bandang, tanggul yang jebol.
4. Jika kita hidup di wilayah yang rawan gempa bumi, maka risiko bencana bisa dikenali seperti robohnya bangunan dan rumah, tanah retak-retak hingga longsor.
5. Jika kita hidup di wilayah pemukiman yang padat penduduk, maka resiko bencana bisa dikenali, yaitu apapun yang bisa menyebabkan terjadinya kebakaran.
Risiko bencana tersebut hanya beberapa contoh saja yang berpotensi menjadi sebuah kenyataan bencana atau bencana yang senyata-nyatanya. Mungkin kita berpandangan bahwa bencana, apapun bentuknya, tidak bisa dicegah kejadiannya. Ketika terjadi bencana kebakaran, kita tidak bisa menghentikan saat itu juga api yang sedang berkobar. Namun kita bisa mengurangi risiko yang diakibatkan oleh bencana kebakaran tersebut dengan cara menyelamatkan jiwa dan harta benda yang masih mungkin diselamatkan. Setelah mengenali risiko bencana, maka baik pula untuk mengenali langkah-langkah pengurangan risiko bencana.

2. Pengurangan Risiko Bencana (disaster risk reduction)
Pengurangan risiko bencana merupakan suatu pendekatan praktis sistematis untuk mengidentifikasi atau mengenali, mengkaji dan mengurangi risiko yang ditimbulkan akibat kejadian bencana. Pengurangan Resiko Bencana (PRB) adalah sebuah program yang dilakukan untuk mengantisipasi/mempelajari sesuatu yang mungkin akan terjadi oleh adanya bencana, baik itu bencana alam atau bencana yang disebabkan oleh manusia.
3. Pengurangan Resiko Bencana Oleh Masyarakat (PRBOM)
Pengurangan resiko bencana oleh Masyarakat (PRBOM) adalah tindakan yang mana untuk mempersiapkan masyarakat yang tinggal di daerah sekitar bencana untuk selalu lebih mengenal daerah/komunitas mereka sendiri, mengenal berbagai ancaman yang mungkin bisa terjadi yang mungkin akan mengakibatkan bencana bagi daerah/komunitas mereka dan mencoba untuk menggali solusi/kapasitas dari masing-masing individu yang ada di daerah/komunitas mereka sendiri sehingga masyarakat (dapat) mempersiapkan segala sesuatunya disaat maupun setelah/pasca bencana.
Pengurangan risiko bencana selain merupakan tanggungjawab lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang pembangunan maupun lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan, tetapi yang lebih penting adalah tanggung jawab masing-masing pribadi. Pengurangan risiko bencana harus menjadi bagian terpadu dan pekerjaan organisasi-lembaga semacam itu dengan prinsip community based, berbasis masyarakat, agar terintegrasi dengan pendekatan pengurangan risiko bencana yang selama ini dilakukan oleh pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Pengurangan risiko bencana juga merupakan kegiatan yang luas cakupannya. Mengenali risiko bencana merupakan hal yang perlu, bahkan sampai pada tingkatan tertentu merupakan hal yang mutlak. Beberapa komponen penting antara lain :
1. Memfokuskan pada pemahaman bagaimana manajemen resiko bencana di organisasikan dan disampaikan, termasuk pelatihan yang di informasikan ke pihak lain. Investigasi lapangan dan pencarian literatur dapat digunakan untuk mengidentifikasi kesenjangan, keperluan dan hambatan untuk melakukan pengurangan resiko dan untuk mendokumentasikan Profil kota dan informasi Pelatihan.
2. Memastikan adanya pemahaman akan bencana, pengembangan kapasitas atau insrastruktur, penguatan institusi untuk mendukung implementasi Rencana Awal Manajemen Resiko Bencana.
3. Menggabungkan kajian resiko bencana dan pilihan yang efektif untuk mengkomunikasikan tentang resiko bencana kepada pengambil keputusan, perencana, pendidik, tokoh masyarakat, dan pejabat lokal.
4. Dipusatkan pada penyediaan dukungan teknis dan logistik untuk pengembangan dan implementasi kesepakatan manajemen Resiko Bencana dalam suatu kota.

B. Tujuan Pengurangan Risiko Bencana
Tujuan pengurangan risiko bencana untuk mengurangi kerentanan-kerentanan sosial ekonomi terhadap bencana dan menangani bahaya-bahaya lingkungan maupun yang lain yang menimbulkan kerentanan.
C. Pengintegrasian kurikulum Siaga Bencana
Dalam Surat Edaran (SE) Menteri Pendidikan Nasional No. 70a/SE/MPN/2010 tentang Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana di Sekolah, Mendiknas menghimbau kepada seluruh Gubernur, Bupati dan Walikota di Indonesia untuk menyelenggarakan penanggulangan bencana di sekolah melalui 3 hal yaitu: 1). pemberdayaan peran kelembagaan dan kemampuan komunitas sekolah; 2). Pengintegrasian PRB ke dalam kurikulum satuan pendidikan formal, baik intra maupun ekstra kurikuler; 3). Membangun kemitraan dan jaringan antar pihak untuk mendukung pelaksanaan PRB di sekolah.
Upaya ini merupakan wujud nyata dari dukungan United Nations Development Programme (UNDP), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Konsorsium Pendidikan Bencana (KPB) kepada Kementerian Pendidikan Nasional yang telah dimulai sejak tahun 2008 dalam penyusunan Strategi Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana di Sekolah yang menjadi lampiran dari surat edaran; beserta modul ajar pengintegrasian PRB yang disusun oleh Pusat Kurikulum sebagai pedoman dalam penyelenggaraan PRB di sekolah.
Pengarusutamaan PRB ke dalam kurikulum sekolah memiliki beberapa tujuan. Tujuan jangka pendek adalah untuk membuat anak-anak lebih aman saat terjadi bencana dan menjadikan meeka sebagai agen perubahan yang dapat menyebarkan pengetahuan kepada kalangan yang lebih luas terutama keluarga mereka sendiri. Sementara itu tujuan jangka panjangnya adalah untuk mempersiapkan anak-anak, sebagai generasi masa depan, dengan pengetahuan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana. “Anak-anak adalah aset negara yang perlu dilindungi sebagai investasi bagi generasi masa depan, dan sekolah merupakan tempat dimana anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya,” ujar Bambang Indriyanto, Ph.D, Sekretaris Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kemendiknas. “Untuk itu kita perlu menjadikan sekolah sebagai tempat yang aman terhadap bencana sekaligus tempat anak-anak mempelajari pengetahuan tentang cara penyelamatan diri dan mengurangi risiko bencana di lingkungannya”. Hal ini menjadi penting karena seringkali bencana terjadi pada saat jam belajar ketika anak-anak berada di sekolah.
Pendidikan kebencanaan di sekolah dasar dan menegah membantu anak-anak memainkan peranan penting dalam penyelamatan hidup dan perlindungan anggota masyarakat pada saat kejadian bencana. Menyelenggarakan pendidikan tentang resiko bencana ke dalam kurikulum sekolah sangat membantu dalam membangun kesadaran akan isu tersebut di lingkungan masyarakat. Sebagai tambahan terhadap peran penting mereka di dalam pendidikan formal, sekolah juga harus mampu melindungi anak-anak dari suatu kejadian bencana alam. Investasi dalam memperkuat struktur gedung sekolah sebelum suatu bencana terjadi, akan mengurangi biaya/anggaran jangka panjang, melindungi generasi muda penerus bangsa, dan memastikan kelangsungan kegiatan belajar-mengajar setelah kejadian bencana.
Pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah merupakan dua prioritas utama untuk dilakukan, sebagai aksi Kerangka Kerja Aksi Hyogo yang telah diadopsi oleh 168 negara. Pengintegrasian pendidikan tentang resiko bencana ke dalam kurikulum pendidikan secara nasional dan penyediaan fasilitas sekolah yang aman dan menyelamatkan juga merupakan dua prioritas yang memberikan kontribusi terhadap kemajuan suatu negara menuju Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goal).
Sasaran utama kampanye ini adalah mempromosikan integrasi pendidikan tentang risiko bencana dalam kurikulum sekolah di negara-negara yang rawan bencana alam dan mempromosikan konstruksi yang aman dan penyesuaian gedung sekolah yang mampu menahan bahaya. Untuk mencapai sasaran tersebut diperlukan langkah-langkah yang tepat dengan cara mempromosikan praktek terbaik yang menunjukkan bagaimana bermanfaatnya pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah bagi masyarakat yang rentan. Berupaya melibatkan para pelaku pada berbagai tingkatan untuk menyampaikan pesan kampanye tersebut. Mendorong kepekaan anak-anak sekolah, orangtua, para guru, para pengambil kebijakan di tingkat lokal hingga internasional, dan organisasi kemasyarakatan untuk mempengaruhi kebijakan tentang pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah.
Kampanye ditujukan kepada murid sekolah dasar dan menengah, para guru, pembuat kebijakan pendidikan, orangtua, insinyur dan ahli bangunan. Selain itu juga ditujukan kepada lembaga pemerintah yang bertanggung-jawab atas isu manajemen bencana, mendiknas, para pemimpin politik di tingkat nasional, pembuat keputusan di masyarakat, dan otoritas lokal. Pesan yang bisa disampaikan antara lain: (1) pendidikan tentang resiko bencana menguatkan anak-anak dan membantu membangun kesadaran yang lebih besar isu tersebut di dalam masyarakat; (2) fasilitas bangunan sekolah yang bisa menyelamatkan hidup dan melindungi anak-anak sebagai generasi penerus bangsa dari suatu kejadian bencana alam; dan (3) pendidikan tentang resiko bencana dan fasilitas keselamatan di sekolah akan membantu negara-negara menuju ke arah pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium.
Hasil yang diharapkan adalah (1) pemerintah pusat dan daerah menanamkan investasinya dalam fasilitas bangunan sekolah tahan bencana dan mengarahkan kurikulum pendidikan tentang resiko bencana secara nasional; (2) meningkatkan kesadaran sebagai dampak positif adanya pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah; dan (3) peningkatan aksi dan penggunaan praktek-praktek yang baik untuk mengerahkan koalisi dan kemitraan, membangun kapasitas sumberdaya yang ada untuk mengadakan pelatihan pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah.
Memang wacana mengintegrasikan pendidikan Pengurangan Resiko Bencana (PRB) ke dalam institusi pendidikan formal terasa aneh. Ditengah keterpurukan dunia pendidikan, pendidikan PRB menjadi wacana yang tidak terlalu terdengar gaungnya, tenggelam dalam isu perbaikan kualitas dunia pendidikan dari sisi kebijakan, kurikulum maupun sumber daya.
Pendidikan PRB sendiri memuat dua tema besar. Pertama adalah pendidikan PRB dalam konteks bencana alam, kedua pendidikan PRB dalam konteks bencana sosial, yakni konflik kekerasan. Seperti yang saya ulas dalam tulisan sebelumnya, bencana tidak selalu identik dengan alam (natural disaster) tetapi juga bencana buatan manusia (man-made disaster) dalam hal ini konflik kekerasan. Secara geografis, posisi Indonesia yang dikelilingi oleh ring pasifik memiliki ancaman besar dengan banyaknya gunung berapi dan potensi gempa bumi. Secara sosial, Indonesia adalah negara yang terdiri dari beragam latar belakang etnis, suku, ras dan budaya sehingga kesalahan dalam mengelola keberagaman bisa memicu terjadinya konflik kekerasan atau kerusuhan.
Dalam konteks bencana alam, normalnya siswa menghabiskan waktu 5 - 6 jam di sekolah. Belum lagi jika ada kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan lainnya. Sementara ancaman dari alam bisa datang kapanpun tanpa bisa kita duga. Gempa bumi misalnya. Sejauh ini belum ada teknologi yang mampu memprediksi kapan dan dimana gempa akan terjadi. Dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan tentang kebencanaan kepada siswa, resiko timbulnya korban dalam jumlah besar saat jam belajar mengajar bisa dihindari. Selain pengetahuan teori tentang bencana, PRB juga mengajarkan keterampilan seperti cara-cara penyelamatan diri secara cepat dan aman, cara memahami ancaman di lingkungan sekitar serta membekali siswa pentingnya memelihara lingkungan sebagai langkah menanggulangi bencana di masa datang.
Dalam konteks ancaman konflik akibat latar belakang masyarakat yang begitu beragam, pendidikan PRB dimaknai sebagai peningkatan kapasitas siswa dalam memahamai keberagaman dan mampu mengelola setiap potensi konflik yang timbul dengan cara damai tanpa kekerasan. Istilah yang umum adalah pendidikan perdamaian. Pendidikan perdamaian di sekolah menjadi langkah awal untuk mewujudkan perdamaian dalam lingkup yang lebih besar. Semangat damai bisa diciptakan dan dimulai sejak dini dengan mengenalkan indahnya nilai toleransi, menghargai sesama, bagaimana mengapresasi keberagaman untuk kemudian dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menjadi Sekolah Siaga Bencana, ada beberapa parameter pengurangan resiko berbasis sekolah yang digunakan antara lain : kebijakan pendidikan untuk mempromosikan pengurangan resiko, pengurangan resiko dengan pendekatan remaja sebaya, lingkungan sekolah yang sehat & aman, rencana kontingensi pengurangan resiko di sekolah dan upaya pengurangan resiko berbasis sekolah yang mendukung peningkatan kesehatan dan kesiapsiagaan masyarakat.


Bantul, 27 September 2010
Disarikan dari berbagai sumber

Permasalahan Sertifikasi Guru di Bantul

Sertifikasi bagi tenaga pendidik memang sudah menjadi sebuah kebutuhan. Kompetensi guru merupakan salah satu faktor kunci sukses proses pembelajaran di sekolah. Sertifikasi guru bertujuan untuk a. Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik profesional, b. Meningkatkan proses dan hasil pembelajaran, c. Meningkatkan kesejahteraan guru, d. Meningkatkan martabat guru; dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
Ketika program ini digulirkan oleh pemerintah, banyak sudah guru yang telah melaksanakan rangkaian kegiatan dalam program sertifikasi ini. Dasar hukum pelaksanaannya antara lain : UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan PP RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidika. Dalam peraturan perundangan tersebut dijelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional. Untuk itu, guru dipersyaratkan memiliki kualifikasi akademik minimal Sarjana atau Diploma IV (S1/D-IV) yang relevan dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran. Pemenuhan persyaratan kualifikasi akademik minimal S1/D-IV dibuktikan dengan ijazah dan pemenuhan persyaratan relevansi mengacu pada jejang pendidikan yang dimiliki dan mata pelajaran yang dibina.
Pemenuhan persyaratan penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik yang diperoleh melalui sertifikasi.
Bagaimana tidak butuh sertifikasi, karena selain merupakan bukti kompetensi seorang guru, sertifikasi guru juga diikuti dengan peningkatan kesejahteraan guru. Bentuk peningkatan kesejahteraan tersebut berupa pemberian tunjangan profesi bagi guru yang memiliki sertifikat pendidik. Tunjangan tersebut berlaku, baik bagi guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun bagi guru yang berstatus bukan pegawai negeri sipil (swasta).
Permasalahan sertifikasi guru2 di Bantul
Beberapa waktu yang lalu ada puluhan guru yang tidak lolos sertifikasi mengadukan permaslahannya di Komisi D DPRD Kabupaten Bantul. Menindaklanjuti aduan tersebut Komisi D kemudian mengagendakan pertemuan khusus dengan jajaran Dinas Pendidikan baik Dinas Pendidikan Dasar maupun Dinas Pendidikan Menengah dan Non Formal Kabupaten Bantul. Terungkap dalam koordinasi tersebut bahwa tuntutan untuk bisa lolos sertifikasi, karena sebagian guru yang tidak lolos tersebut apabila periode dekat ini tidak bisa lolos sertifikasi maka pupus sudah harapan untuk tersertifikasi karena sebagaian sudah mendekati masa pensiun.
Menurut kepala Dinas Dikmenof Kabupaten Bantul bahwa yang melakukan penilaian adalah UNY. Secara normatif telah dilakukan penilaian, namun beberapa guru tidak lulus. Masih menurut kepala Dikmenof di antara penyebabnya adalah gairah untuk mengikuti PLPG sebagian guru rendah sehingga menyebabkan skornya rendah, beberapa kasus dengan nilai rendah berasal dari guru mata pelajaran BK dan PKN. Dari informasi yang dipaparkan diketahui terdapat 43 guru yang tidak mengikuti PLPG, penyebabnya antara lain : adanya sebagian guru yang cuti hamil/melahirkan, tetapi ada juga yang karena trauma dengan ketidaklolosannya di ujian sebelumnya. kebijakan dinas yang penting nanti diikutkan kembali sertifikasi, asalkan masih mungkin scr normatif, malah kemudian menggunakan pengacara, dari dikmenof ada 43 (tdk ikut PLPG karena melahirkan, ada yang trauma dsb). Tdk ikut protes.
Data yang berasal dari Dinas Pendidikan Dasar ada 89 guru belum lolos sertifikasi di periode kemarin. Kemudian pada tahun 2011, Kabupaten Bantul memperoleh kuota sebanyak 1604. Untuk memperoleh sertifikasi sebagian besar harus mengikuti pelatihan PLPG, sedangkan yang menggunakan sistem portofolio jumlahnya hanya sedikit. Dari total guru 7238 orang yang mengajar di SD/SMP yang sudah tersertifikasi sebanyak 3125 orang sedangkan yang belum 4113 orang. Quota sebesar 1604 sebanyak 15 %-nya atau 240 orang akan diberikan kepada guru yayasan.
Langkah-langkah yang telah dilakukan Dinas pendidikan antara lain melalukan up date untuk mendapat data yang valid, ada 3 (tiga) kategori yang masuk daftar sertifikasi tahun 2011 yaitu yang sudah masuk daftar tunggu, yang tidak lolos PLPG tahun sebelumnya, serta yang bermasalah ijazahnya (catatan memang ada beberapa guru yang menggunakan ijazah STIKIP Catur Sakti yang sampai hari ini belum jelas sah tidaknya). Sesuai dengan aturan yang ada bagi guru yang tidak lolos PLPG bisa diikutkan lagi, dari 4113 akan diambil 1604 orang untuk diikutkan ujian sertifikasi sesuai dengan prioritas. Kriteria prioritas tahun ini adalah masa kerja, usia, pangkat/golongan, tambahan beban kerja. Lembaga yang berperan dalam proses sertifikasi antara lain Kepegawaian/BKD, Dinas pendididan, serta LPMP. Calon peserta sertifikasi melengkapi berkas sertifikasi, kemudian dikumpulkan ke LPTK Rayon XI (UNY, UPY, UAD).
Sertifikasi dapat dilakukan dengan proses : Portofolio, PLPG, dan Pendidikan profesi / 1 tahun. Sebagian yang ikut protes ke Dewan menurut Dikdas adalah periode angkatan 2007-2010 hampir semuanya dengan portofolio. Kesepakatan antara Komisi D dan Dinas Pendidikan untuk tahun 2011 semua yang belum lolos diikutkan sertifikasi dengan mengikuti PLPG.